Kamis, 30 April 2015

Prostitusi Online

Tuh kan, apa yang penulis katakana di tulisan terdahulu. Lihat postingan ini: http://senangkalan.blogspot.com/2015/03/seks-maharaja-yang-selalu-punya-tahta.html
Bahwa dengan ditutupnya Gang Dolly sama sekali tidak menjadikan para PSK kehilangan sarana menjajakan diri. Gang Dolly sebagai ”markas” yang dikelola secara terstruktur, sistematis dan masif, memang lebih membuat aman bagi PSK dan pria hidung belang pelanggannya. Aman dalam arti bebas dari penyakit karena ada tim medis yang rutin melakukan kontrol, dan aman juga dari ”garukan” tibum (penertiban umum) atau grebek aparat gabungan.

Bahwa ditutupnya Gang Dolly, hanya mengalihkan ”markas” PSK dari tempat yang dikelola secara profesional oleh mucikari, ke ”markas” yang sama sekali tanpa campur tangan pihak lain, yaitu rumah kost. Buktinya, di Lamongan para PSK buka praktik di rumah kost. Di Bojonegoro, rumah kost yang mirip motel dicurigai biasa dipakai tempat esek-esek, setelah kedapatan seorang pria (42) tewas seusai berkencan dengan PSK STW (separuh tuwa) karena sudah berusia 39 tahun.

Di Nganjuk juga kisah yang sama. Karena lokalisasi Kandangan di daerah setempat ditutup, membuat En (45) mantan mucikari di lokalisasi itu memutar otak untuk bisa melanggengkan bisnis esek-esek yang kadung digelutinya. Jadilah dia menempuh cara menyewakan kamar di bagian belakang rumahnya yang sekaligus diberdayakan sebagai warung. Deretan kamar kost yang disediakannya dibanderol Rp50 ribu per malam.

Keberadaan rumah kost yang jauh dari keramaian dan semrawutnya kota, dan bisa jadi tanpa ditunggui induk semang (pemilik kos), sangat memungkinkan terbukanya peluang bagi sesiapa untuk jadi penghuni. Karena satu sama lain penghuni kost sibuk dengan urusan sendiri, serta budaya a-sosial yang kian menggejala, membuat orang akan acuh pada lingkungan sekitarnya. Keadaan ini membuka peluang di antara penghuni kost membawa pulang PSK untuk berkencan.

Cara Kerja Prostitusi Online

Tertangkapnya Dewi Sundari alias Dee (mucikari prostitusi online) oleh Unit Tipiter Polrestabes Surabaya, mengungkap bagaimana kreatifnya dia menjalankan bisnis prostitusi online. Semua memang berkat kecanggihan teknologi. Dengan memanfaatkan Blackberry Messenger (BBM) Dee membuat grup BBM. Melalui grup BBM itu Dee menawarkan para perempuan yang ”dijualnya” kepada pria hidung belang.

Cara kerjanya, Dee menawarkan perempuan dengan kedok jasa ”Penginapan Plus” kepada calon konsumen. Yaitu, penginapan dengan disertai teman kencan. Jika ada konsumen yang merespons, Dee segera mengirim balasan untuk mentransfer uang booking. Besarannya 30 persen dari tarif yang ditetapkan. Untuk kelas premium tarifnya Rp1,5 juta–Rp3 juta. Tarif itu berlaku untuk kencan short time, sedangkan long time dipatok Rp10 juta.

Tempat kencannya di hotel kawasan Ngagel dan jantung Kota Surabaya. Dee membuat semacam home base di salah satu kamar hotel-hotel di situ. Bila ada pria calon konsumen mem-booking, Dee akan mengirim satu anak buahnya ke home base tadi untuk melakukan kesepakatan. Dee berhasil ditangkap setelah polisi menyamar sebagai calon konsumen.

Kasus Tata Chubby

Deudeuh Alfisahrin alias Tata Chubby alias Empi (26), penghuni kamar kos di Jalan Tebet Utara, Jakarta Selatan, ditemukan tewas setelah berkencan dengan M. Prio Santoso (25). Prio terhubung dengan Tata Chubby melalui akun @tata_chubby. Setelah janjian pelaku mendatangi kamar kos Tata pada 10 April 2015. Besoknya, Tata ditemukan tewas tanpa busana dengan mulut disumpal kaus kaki dan leher terlilit kabel mesin pengering rambut.

Terbunuhnya Tata Chubby semakin menguak lagi fenomena prostitusi online yang kian marak. Mengapa media online? Karena prostitusi online tidak diatur dalam undang-undang, baik KUHAP maupun ITE. Akibatnya para PSK yang menjajakan diri lewat media sosial tidak bisa dijerat hukum, karena tidak ada konstruksi hukum yang jelas untuk memberantas pelaku prostitusi. Kecuali cara kerjanya diatur oleh mucikari seperti pada kasus Dewi Sundari alias Dee di atas.    

Mati Satu Tumbuh Seribu

Media sosial sungguh membawa berkah, tapi terpulang kepada penggunanya, apakah berkah positif atau berkah negatif yang dituju. Semua yang akrab dengan dunia internet hampir pasti punya akun media sosial. Paling tidak satu yakni Facebook, atau dua dengan Twitter. Sedang yang maniak dengan dunia maya, bisa jadi punya banyak akun, seperti Blog, Google+, Path, Instagram, Pinterest, Tumblr, dan lainnya.

Dengan ribuan akun berseliweran di dunia maya, tentu dibutuhkan waktu lama untuk menelusuri satu per satu akun media sosial yang negatif. Dalam sejumlah media sosial banyak akun alter yang terang-terangan menawarkan jasa seks. Sehingga upaya memutus mata rantai tersebarnya ketidaksenonohan di internet akan memerlukan biaya besar dan siapa tahu tenaga sudah hampir habis, namun belum selesai penelusuran. Karena setiap detik bermunculan ribuan akun baru. Jadinya, dibunuh satu tumbuh seribu.        

Legalisasi Prostitusi

Di masa DKI Jakarta dipimpin Gubernur Ali Sadikin, pria yang biasa disapa Bang Ali itu memprakarsai adanya loklisasi prostitusi. Alasan Bang Ali agar para wanita tuna susila  (WTS) –dulu namanya memang begitu, bahkan ada yang menyebutnya lonte– tidak keleleran di jalan. Di samping itu agar penyakit kelamin tidak menyebar yang akan membuat malapetaka lebih parah.

Di bawah kekuasaan Sutiyoso sebagai gubernur, lokalisasi prostitusi Kramat Tunggak di Jakarta Utara, bisa ditutup dan dijadikan pusat kegiatan keagamaan umat muslim (Islamic Center). Namun lokalisasi Kali Jodo tetap ada meski tidak setenar Kramat Tunggak. Bahkan, kini para PSK yang kebanyakan berusia ABG di kawasan Kali Jodo dipelihara mucikari di kamar-kamar kost. Bila ada pelanggan yang memesan, si mucikari akan mengirimnya ke hotel tempat si pemesan menginap. Semua komunikasi dijalin dengan layanan pesan singkat melalui telepon seluler.

Dengan terkuaknya kasus Tata Chubby, membuat Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok mewacanakan membuka kembali lokalisasi prostitusi. Sontak saja memancing pro-kontra suara masyarakat, pengamat, komunitas, budayawan, dan para ahli lainnya. Membuka kembali lokalisasi, menurut Ahok, bukan pada melegalkan pelacuran tapi lebih pada tujuan untuk lebih mengondisikan pada tempat tertentu dan terawasi.

Benar juga. Kalau berkeliaran di jalan-jalan mungkin sudah tidak zamannya lagi. Yang ada ngekos atau tinggal di apartemen. Hubungan dengan calon pelanggan atau yang sudah jadi pelanggan dijalin dengan alat komunikasi seluler atau akun media seperti yang dilakukan Tata Chubby. Nah, kamar kost berkedok prostitusi terselubung inilah yang tidak dikehendaki Ahok, sehingga mewacanakan melokalisasi para penjaja seks di apartemen khusus yang hanya boleh didatangi orang yang tidak suci. Sementara Orang Suci Dilarang Masuk.

Tidak itu saja, Ahok juga menghendaki adanya semacam sertifikat bagi para PSK. Wah, ada-ada saja ide nyeleneh matan politikus Gerindra itu. Lantas, kalau PSK yang mengantongi sertifikat profesi, apakah akan membuat ”nilai jualnya” semakin tinggi? Tergantung, lihat dulu kondisi ”barangnya” kalau masih muda dan terjaga, tentu mahal. Tapi kalau sudah beranjak tua dan penuh selulit, wow boleh tawar menawar dong. Hahahaha. PSK bersertifikat itu, ternyata Ahok mengadopsinya dari Filipina. Ah, sepertinya Ahok tahu persis ya, jangan-jangan… hehehe.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.