Tuh kan, apa
yang penulis katakana di tulisan terdahulu. Lihat postingan ini: http://senangkalan.blogspot.com/2015/03/seks-maharaja-yang-selalu-punya-tahta.html
Bahwa dengan
ditutupnya Gang Dolly sama sekali tidak menjadikan para PSK kehilangan sarana
menjajakan diri. Gang Dolly sebagai ”markas” yang dikelola secara terstruktur, sistematis
dan masif, memang lebih membuat aman bagi PSK dan pria hidung belang
pelanggannya. Aman dalam arti bebas dari penyakit karena ada tim medis yang
rutin melakukan kontrol, dan aman juga dari ”garukan” tibum (penertiban umum)
atau grebek aparat gabungan.
Bahwa ditutupnya
Gang Dolly, hanya mengalihkan ”markas” PSK dari tempat yang dikelola secara profesional
oleh mucikari, ke ”markas” yang sama sekali tanpa campur tangan pihak lain,
yaitu rumah kost. Buktinya, di Lamongan para PSK buka praktik di rumah kost. Di Bojonegoro,
rumah kost yang mirip motel dicurigai biasa dipakai tempat esek-esek, setelah
kedapatan seorang pria (42) tewas seusai berkencan dengan PSK STW (separuh
tuwa) karena sudah berusia 39 tahun.
Di Nganjuk juga kisah yang sama. Karena lokalisasi Kandangan di daerah setempat ditutup, membuat En (45) mantan mucikari di lokalisasi itu memutar otak untuk bisa melanggengkan bisnis esek-esek yang kadung digelutinya. Jadilah dia menempuh cara menyewakan kamar di bagian belakang rumahnya yang sekaligus diberdayakan sebagai warung. Deretan kamar kost yang disediakannya dibanderol Rp50 ribu per malam.
Di Nganjuk juga kisah yang sama. Karena lokalisasi Kandangan di daerah setempat ditutup, membuat En (45) mantan mucikari di lokalisasi itu memutar otak untuk bisa melanggengkan bisnis esek-esek yang kadung digelutinya. Jadilah dia menempuh cara menyewakan kamar di bagian belakang rumahnya yang sekaligus diberdayakan sebagai warung. Deretan kamar kost yang disediakannya dibanderol Rp50 ribu per malam.
Keberadaan rumah kost yang jauh dari keramaian dan semrawutnya kota, dan bisa jadi
tanpa ditunggui induk semang (pemilik kos), sangat memungkinkan terbukanya peluang
bagi sesiapa untuk jadi penghuni. Karena satu sama lain penghuni kost sibuk
dengan urusan sendiri, serta budaya a-sosial yang kian menggejala, membuat orang
akan acuh pada lingkungan sekitarnya. Keadaan ini membuka peluang di
antara penghuni kost membawa pulang PSK untuk berkencan.
Cara Kerja
Prostitusi Online
Tertangkapnya
Dewi Sundari alias Dee (mucikari prostitusi online) oleh Unit Tipiter
Polrestabes Surabaya, mengungkap bagaimana kreatifnya dia menjalankan bisnis
prostitusi online. Semua memang berkat kecanggihan teknologi. Dengan
memanfaatkan Blackberry Messenger
(BBM) Dee membuat grup BBM. Melalui grup BBM itu Dee menawarkan para perempuan
yang ”dijualnya” kepada pria hidung belang.
Cara kerjanya,
Dee menawarkan perempuan dengan kedok jasa ”Penginapan Plus” kepada calon
konsumen. Yaitu, penginapan dengan disertai teman kencan. Jika ada konsumen
yang merespons, Dee segera mengirim balasan untuk mentransfer uang booking. Besarannya 30 persen dari tarif
yang ditetapkan. Untuk kelas premium tarifnya Rp1,5 juta–Rp3 juta. Tarif itu
berlaku untuk kencan short time,
sedangkan long time dipatok Rp10
juta.
Tempat kencannya
di hotel kawasan Ngagel dan jantung Kota Surabaya. Dee membuat semacam home
base di salah satu kamar hotel-hotel di situ. Bila ada pria calon konsumen mem-booking, Dee akan mengirim satu anak
buahnya ke home base tadi untuk melakukan kesepakatan. Dee berhasil
ditangkap setelah polisi menyamar sebagai calon konsumen.
Kasus Tata
Chubby
Deudeuh Alfisahrin
alias Tata Chubby alias Empi (26), penghuni kamar kos di Jalan Tebet Utara,
Jakarta Selatan, ditemukan tewas setelah berkencan dengan M. Prio Santoso (25).
Prio terhubung dengan Tata Chubby melalui akun @tata_chubby. Setelah janjian pelaku
mendatangi kamar kos Tata pada 10 April 2015. Besoknya, Tata ditemukan tewas
tanpa busana dengan mulut disumpal kaus kaki dan leher terlilit kabel mesin
pengering rambut.
Terbunuhnya Tata
Chubby semakin menguak lagi fenomena prostitusi online yang kian marak. Mengapa
media online? Karena prostitusi online tidak diatur dalam undang-undang, baik
KUHAP maupun ITE. Akibatnya para PSK yang menjajakan diri lewat media sosial tidak
bisa dijerat hukum, karena tidak ada konstruksi hukum yang jelas untuk
memberantas pelaku prostitusi. Kecuali cara kerjanya diatur oleh mucikari
seperti pada kasus Dewi Sundari alias Dee di atas.
Mati Satu
Tumbuh Seribu
Media sosial
sungguh membawa berkah, tapi terpulang kepada penggunanya, apakah berkah
positif atau berkah negatif yang dituju. Semua yang akrab dengan dunia internet
hampir pasti punya akun media sosial. Paling tidak satu yakni Facebook, atau
dua dengan Twitter. Sedang yang maniak dengan dunia maya, bisa jadi punya
banyak akun, seperti Blog, Google+, Path, Instagram, Pinterest, Tumblr, dan
lainnya.
Dengan ribuan
akun berseliweran di dunia maya, tentu dibutuhkan waktu lama untuk menelusuri
satu per satu akun media sosial yang negatif. Dalam sejumlah media sosial banyak
akun alter yang terang-terangan menawarkan jasa seks. Sehingga upaya memutus
mata rantai tersebarnya ketidaksenonohan di internet akan memerlukan biaya
besar dan siapa tahu tenaga sudah hampir habis, namun belum selesai
penelusuran. Karena setiap detik bermunculan ribuan akun baru. Jadinya, dibunuh
satu tumbuh seribu.
Legalisasi
Prostitusi
Di masa DKI
Jakarta dipimpin Gubernur Ali Sadikin, pria yang biasa disapa Bang Ali itu
memprakarsai adanya loklisasi prostitusi. Alasan Bang Ali agar para wanita tuna
susila (WTS) –dulu namanya memang begitu,
bahkan ada yang menyebutnya lonte– tidak keleleran di jalan. Di samping itu agar
penyakit kelamin tidak menyebar yang akan membuat malapetaka lebih parah.
Di bawah
kekuasaan Sutiyoso sebagai gubernur, lokalisasi prostitusi Kramat Tunggak di Jakarta
Utara, bisa ditutup dan dijadikan pusat kegiatan keagamaan umat muslim (Islamic
Center). Namun lokalisasi Kali Jodo tetap ada meski tidak setenar Kramat
Tunggak. Bahkan, kini para PSK yang kebanyakan berusia ABG di kawasan Kali Jodo
dipelihara mucikari di kamar-kamar kost. Bila ada pelanggan yang memesan, si
mucikari akan mengirimnya ke hotel tempat si pemesan menginap. Semua komunikasi
dijalin dengan layanan pesan singkat melalui telepon seluler.
Dengan terkuaknya
kasus Tata Chubby, membuat Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias
Ahok mewacanakan membuka kembali lokalisasi prostitusi. Sontak saja memancing
pro-kontra suara masyarakat, pengamat, komunitas, budayawan, dan para ahli
lainnya. Membuka kembali lokalisasi, menurut Ahok, bukan pada melegalkan
pelacuran tapi lebih pada tujuan untuk lebih mengondisikan pada tempat tertentu
dan terawasi.
Benar juga. Kalau
berkeliaran di jalan-jalan mungkin sudah tidak zamannya lagi. Yang ada ngekos
atau tinggal di apartemen. Hubungan dengan calon pelanggan atau yang sudah jadi
pelanggan dijalin dengan alat komunikasi seluler atau akun media seperti yang dilakukan Tata Chubby. Nah, kamar
kost berkedok prostitusi terselubung inilah yang tidak dikehendaki Ahok, sehingga
mewacanakan melokalisasi para penjaja seks di apartemen khusus yang hanya boleh
didatangi orang yang tidak suci. Sementara ”Orang Suci” Dilarang Masuk.
Tidak itu
saja, Ahok juga menghendaki adanya semacam sertifikat bagi para PSK. Wah, ada-ada
saja ide nyeleneh matan politikus Gerindra itu. Lantas, kalau PSK yang mengantongi
sertifikat profesi, apakah akan membuat ”nilai jualnya” semakin tinggi? Tergantung,
lihat dulu kondisi ”barangnya” kalau masih muda dan terjaga, tentu mahal. Tapi kalau
sudah beranjak tua dan penuh selulit, wow boleh tawar menawar dong. Hahahaha. PSK bersertifikat
itu, ternyata Ahok mengadopsinya dari Filipina. Ah, sepertinya Ahok tahu persis
ya, jangan-jangan… hehehe.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.