Kesadaran adalah matahari, kesabaran
adalah bumi,
dan perjuangan adalah pelaksanaan kata-kata
WS. Rendra
*******
Dua hari lalu sepulang kantor istri saya cerita
bahwa teman kerjanya diciduk aparat lantaran dilaporkan tetangganya. Tiap pagi
kalau mengantar istri sampai gerbang kantornya, saya berpapasan dengan sosok
orang yang diceritakan.
Apa pasal sampai dilaporkan tetangga, istri
saya tak tahu persis. Tapi, konon orang ini pagi-pagi sesampai di kantor
langsung ngerumpiin tetangganya. Hampir
tiap hari ada cerita baru tentang tetangganya. Istilah jejaring sosial tuh selalu up date berita. Entahlah apakah ceritanya tranding topic apa nggak.
Sejatinya, apa yang mulut katakan adalah atas
kendali otak. Berarti mulut saya, otak saya. Mulut kamu, otak kamu. Mulut kita,
otak kita. Tapi, adakalanya si mulut ini nyablak
tanpa dikendalikan terlebih dahulu oleh otak, baru kemudian memberi input ke
otak. Oleh otak kemudian disimpan menjadi file
program apa yang telah mulut katakan. Dalam hal ini mulut menemukan
kesadarannya sendiri, bebas dari rasa ragu untuk mengatakannya. Terabailah
hubungan antara kesadaran dan otak. Kalau tak
pandai menjaga mulut dan omongan menyakiti tetangga, bila berbuntut perkara di
ranah hukum, celakalah akibatnya. Mulutmu, Celakamu.
Para ahli neuroscience
mencoba menemukan keterkaitan antara kesadaran (wakefulness), otak (mind)
dan diri (self). Ternyata ketiganya
tak selalu ada hubungan satu arah, misalnya kesadaran memengaruhi otak, otak
memengaruhi persepsi diri. Hubungan yang terjadi bisa saling silang, misalnya
otak memengaruhi kesadaran, persepsi diri memengaruhi kerja otak.
Hidup bertetangga memang rentan terjadinya
friksi. Kalau tidak mengedepankan kesadaran dan otak, persoalan sepele akan
menyulut emosi mengupak amarah yang akhirnya terjadi percekcokan, si mulut
ngomong di luar batas nalar.
Rasulullah SAW bersabda:
خَيْرُ الْأَصْحَابِ عِنْدَ اللهِ خَيْرُهُمْ لصَاحِبِهِ وَخَيْرُ الْجِيْرَانِ عِنْدَ اللهِ خَيْرُهُمْ لِجَارِهِ
“Sebaik-baik
sahabat di sisi Allah adalah mereka yang terbaik kepada sahabatnya dan
sebaik-baik tetangga di sisi Allah adalah mereka yang terbaik pada
tetangganya.” (HR. Tirmidzi).
Begitu penting dan mulianya tetangga, Islam
datang mengajarkan adab-adab bertetangga. Allah SWT berfirman:
“Sembahlah Allah dan janganlah kamu
mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. Dan berbuat baiklah kepada dua orang
ibu-bapak, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang
dekat dan tetangga yang jauh, teman sejawat, ibnu sabil, dan hamba sahayamu.
Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan
membangga-banggakan diri.” (An-Nisa’ : 36).
Bagaimana Berbuat dan Berakhlak Baik pada Tetangga?
Pertama: Bersabar, menahan diri dari segala bentuk
kezaliman dan perkara yang mendatangkan mudarat kepada tetangga.
Sabda Rasulullah SAW:
مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمَ الْآخِرْ فَلَا يُؤْذِ جَارَهُ
“Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari
akhir maka janganlah dia sakiti tetangganya.”
Bersabar dalam menghadapi gangguan tetangga,
atau memilih pindah rumah jika memang hal itu memungkinkan. Allah berfirman:
“Dan tidaklah sama kebaikan dengan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan
cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang antara kamu dan dia ada
permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia.” (QS Fushshilat:
34).
Jika tidak mampu bersabar menghadapi gangguan
tetangga, sementara kita tidak mungkin pindah rumah, maka coba kita terapkan
nasihat Rasulullah berikut ini:
“Seorang laki-laki pernah datang kepada Nabi
mengeluhkan tetangganya. Maka Rasulullah menasehatinya, ”Pulanglah dan
bersabarlah!” Lelaki itu kemudian mendatangi Nabi lagi sampai dua atau tiga
kali, maka Beliau bersabda padanya, “Pulanglah dan lemparkanlah barang-barangmu
ke jalan!” Maka lelaki itu pun melemparkan barang-barangnya ke jalan, sehingga
orang-orang bertanya kepadanya, ia pun menceritakan keadaannya kepada mereka.
Maka orang-orang pun melaknat tetangganya itu. Hingga tetangganya itu
mendatanginya dan berkata, “Kembalikanlah barang-barangmu, engkau tidak akan
melihat lagi sesuatu yang tidak engkau sukai dariku.” (HR Bukhari)
Kedua: Berbuat baik dan menempuh segala sebab syar’i
yang mendatangkan kebaikan bagi tetangga.
Membalas kejahatan tetangga dengan perbuatan
baik merupakan salah satu etika bertetangga yang diajarkan Islam. Nabi SAW
bersabda, “Tiga golongan yang dicintai Allah… dan laki-laki yang memiliki
tetangga yang menyakitinya, kemudian ia bersabar menghadapi gangguannya hingga
ajal memisahkan mereka.” (HR Imam Ahmad).
Rasulullah SAW mengabarkan bahwa menyakiti
tetangga adalah sebab terjerumusnya seseorang dalam neraka meskipun dia adalah
ahli ibadah. Abu Hurairah ra berkata:
قِيْلَ لِلنَّبِيِّ n: يَا رَسُولَ اللهِ إِنَّ فُلاَنَةَ تَقُومُ اللَّيْلَ وَتَصُومُ النَّهَارَ وَتَفْعَلُ وَتَصَدَّقُ وَتُؤْذِي جِيْرَانَهَا بِلِسَانِهَا. فَقَالَ رَسُولُ اللهِ : لاَ خَيْرَ فِيْهَا، هِيَ مِنْ أَهْلِ النَّارِ
Dikatakan kepada Nabi: “Wahai Rasulullah sesungguhnya
fulanah senantiasa melakukan shalat malam, berpuasa di siang hari, banyak
beribadah dan bersedekah, tetapi dia selalu menyakiti tetangganya dengan
lisannya.” Maka Rasulullah n bersabda: “Tidak ada kebaikan pada dirinya, dia
termasuk penghuni neraka.”
Bahkan dalam sabda yang lain Rasulullah SAW
meniadakan keimanan dari orang yang berbuat zalim kepada tetangganya. Abu
Syuraihz meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW bersabda:
وَاللهِ لاَ يُؤْمِنُ، وَاللهِ لاَ يُؤْمِنُ، وَاللهِ لاَ يُؤْمِنُ. قِيْلَ: وَمَنْ يَا رَسُولَ اللهِ؟ قَالَ: الَّذِي لاَ يَأْمَنُ جَارُهُ بَوَائِقَهُ
“Demi Allah tidak beriman, demi Allah tidak
beriman, demi Allah tidak beriman!” Rasul ditanya: “Siapa wahai Rasulullah?”
Beliau bersabda: “Seseorang yang tetangganya tidak merasa aman dari
keburukannya.”
Asy-Syaikh Abdul Muhsin Al-’Abbad hafizhahullah
berkata: “Hak tetangga adalah hak-hak yang sangat ditekankan atas tetangganya.
Hadits-hadits telah datang begitu banyak, memberi dorongan untuk memuliakan
tetangga sekaligus mengancam dari menyakiti tetangga atau menimpakan
kemudaratan kepadanya… Memuliakan tetangga terwujud dengan menyampaikan
kebaikan kepada mereka dan selamatnya mereka dari kejelekannya.” (diringkas
dari risalah Fathu Al-Qawiyyil Matin Fi Syarhil Arba’in Wa Tatimmatil Khamsin,
hal. 62-63).
Referensi:
-
Politik Otak, Politik Tubuh; OLEH BRE
REDANA dalam Rubrik UDAR-RASA, Kompas, Minggu, 3 Maret 2013.
- http://www.republika.co.id/dunia-islam/islam-digest/11/05/13/ll4yop-hidup-bertetangga-ala-rasulullah