Sabtu, 23 Maret 2013

Mulutmu, Celakamu


Kesadaran adalah matahari, kesabaran adalah bumi,
dan perjuangan adalah pelaksanaan kata-kata
WS. Rendra
*******
Dua hari lalu sepulang kantor istri saya cerita bahwa teman kerjanya diciduk aparat lantaran dilaporkan tetangganya. Tiap pagi kalau mengantar istri sampai gerbang kantornya, saya berpapasan dengan sosok orang yang diceritakan.
Apa pasal sampai dilaporkan tetangga, istri saya tak tahu persis. Tapi, konon orang ini pagi-pagi sesampai di kantor langsung ngerumpiin tetangganya. Hampir tiap hari ada cerita baru tentang tetangganya. Istilah jejaring sosial tuh selalu up date berita. Entahlah apakah ceritanya tranding topic apa nggak.
Sejatinya, apa yang mulut katakan adalah atas kendali otak. Berarti mulut saya, otak saya. Mulut kamu, otak kamu. Mulut kita, otak kita. Tapi, adakalanya si mulut ini nyablak tanpa dikendalikan terlebih dahulu oleh otak, baru kemudian memberi input ke otak. Oleh otak kemudian disimpan menjadi file program apa yang telah mulut katakan. Dalam hal ini mulut menemukan kesadarannya sendiri, bebas dari rasa ragu untuk mengatakannya. Terabailah hubungan antara kesadaran dan otak. Kalau tak pandai menjaga mulut dan omongan menyakiti tetangga, bila berbuntut perkara di ranah hukum, celakalah akibatnya. Mulutmu, Celakamu.
Para ahli neuroscience mencoba menemukan keterkaitan antara kesadaran (wakefulness), otak (mind) dan diri (self). Ternyata ketiganya tak selalu ada hubungan satu arah, misalnya kesadaran memengaruhi otak, otak memengaruhi persepsi diri. Hubungan yang terjadi bisa saling silang, misalnya otak memengaruhi kesadaran, persepsi diri memengaruhi kerja otak.
Hidup bertetangga memang rentan terjadinya friksi. Kalau tidak mengedepankan kesadaran dan otak, persoalan sepele akan menyulut emosi mengupak amarah yang akhirnya terjadi percekcokan, si mulut ngomong di luar batas nalar.
Rasulullah SAW bersabda:
خَيْرُ الْأَصْحَابِ عِنْدَ اللهِ خَيْرُهُمْ لصَاحِبِهِ وَخَيْرُ الْجِيْرَانِ عِنْدَ اللهِ خَيْرُهُمْ لِجَارِهِ
 “Sebaik-baik sahabat di sisi Allah adalah mereka yang terbaik kepada sahabatnya dan sebaik-baik tetangga di sisi Allah adalah mereka yang terbaik pada tetangganya.” (HR. Tirmidzi).
Begitu penting dan mulianya tetangga, Islam datang mengajarkan adab-adab bertetangga. Allah SWT berfirman:
“Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapak, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, teman sejawat, ibnu sabil, dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri.” (An-Nisa’ : 36).
Bagaimana Berbuat dan Berakhlak Baik pada Tetangga?
Pertama: Bersabar, menahan diri dari segala bentuk kezaliman dan perkara yang mendatangkan mudarat kepada tetangga.
Sabda Rasulullah SAW:
مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمَ الْآخِرْ فَلَا يُؤْذِ جَارَهُ
“Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir maka janganlah dia sakiti tetangganya.”
Bersabar dalam menghadapi gangguan tetangga, atau memilih pindah rumah jika memang hal itu memungkinkan. Allah berfirman: “Dan tidaklah sama kebaikan dengan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang antara kamu dan dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia.” (QS Fushshilat: 34).
Jika tidak mampu bersabar menghadapi gangguan tetangga, sementara kita tidak mungkin pindah rumah, maka coba kita terapkan nasihat Rasulullah berikut ini:
“Seorang laki-laki pernah datang kepada Nabi mengeluhkan tetangganya. Maka Rasulullah menasehatinya, ”Pulanglah dan bersabarlah!” Lelaki itu kemudian mendatangi Nabi lagi sampai dua atau tiga kali, maka Beliau bersabda padanya, “Pulanglah dan lemparkanlah barang-barangmu ke jalan!” Maka lelaki itu pun melemparkan barang-barangnya ke jalan, sehingga orang-orang bertanya kepadanya, ia pun menceritakan keadaannya kepada mereka. Maka orang-orang pun melaknat tetangganya itu. Hingga tetangganya itu mendatanginya dan berkata, “Kembalikanlah barang-barangmu, engkau tidak akan melihat lagi sesuatu yang tidak engkau sukai dariku.” (HR Bukhari)
Kedua: Berbuat baik dan menempuh segala sebab syar’i yang mendatangkan kebaikan bagi tetangga.
Membalas kejahatan tetangga dengan perbuatan baik merupakan salah satu etika bertetangga yang diajarkan Islam. Nabi SAW bersabda, “Tiga golongan yang dicintai Allah… dan laki-laki yang memiliki tetangga yang menyakitinya, kemudian ia bersabar menghadapi gangguannya hingga ajal memisahkan mereka.” (HR Imam Ahmad).
Rasulullah SAW mengabarkan bahwa menyakiti tetangga adalah sebab terjerumusnya seseorang dalam neraka meskipun dia adalah ahli ibadah. Abu Hurairah ra berkata:
قِيْلَ لِلنَّبِيِّ n: يَا رَسُولَ اللهِ إِنَّ فُلاَنَةَ تَقُومُ اللَّيْلَ وَتَصُومُ النَّهَارَ وَتَفْعَلُ وَتَصَدَّقُ وَتُؤْذِي جِيْرَانَهَا بِلِسَانِهَا. فَقَالَ رَسُولُ اللهِ : لاَ خَيْرَ فِيْهَا، هِيَ مِنْ أَهْلِ النَّارِ
Dikatakan kepada Nabi: “Wahai Rasulullah sesungguhnya fulanah senantiasa melakukan shalat malam, berpuasa di siang hari, banyak beribadah dan bersedekah, tetapi dia selalu menyakiti tetangganya dengan lisannya.” Maka Rasulullah n bersabda: “Tidak ada kebaikan pada dirinya, dia termasuk penghuni neraka.”
Bahkan dalam sabda yang lain Rasulullah SAW meniadakan keimanan dari orang yang berbuat zalim kepada tetangganya. Abu Syuraihz meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW bersabda:
وَاللهِ لاَ يُؤْمِنُ، وَاللهِ لاَ يُؤْمِنُ، وَاللهِ لاَ يُؤْمِنُ. قِيْلَ: وَمَنْ يَا رَسُولَ اللهِ؟ قَالَ: الَّذِي لاَ يَأْمَنُ جَارُهُ بَوَائِقَهُ
“Demi Allah tidak beriman, demi Allah tidak beriman, demi Allah tidak beriman!” Rasul ditanya: “Siapa wahai Rasulullah?” Beliau bersabda: “Seseorang yang tetangganya tidak merasa aman dari keburukannya.”
Asy-Syaikh Abdul Muhsin Al-’Abbad hafizhahullah berkata: “Hak tetangga adalah hak-hak yang sangat ditekankan atas tetangganya. Hadits-hadits telah datang begitu banyak, memberi dorongan untuk memuliakan tetangga sekaligus mengancam dari menyakiti tetangga atau menimpakan kemudaratan kepadanya… Memuliakan tetangga terwujud dengan menyampaikan kebaikan kepada mereka dan selamatnya mereka dari kejelekannya.” (diringkas dari risalah Fathu Al-Qawiyyil Matin Fi Syarhil Arba’in Wa Tatimmatil Khamsin, hal. 62-63).
Referensi:
-   Politik Otak, Politik Tubuh; OLEH BRE REDANA dalam Rubrik UDAR-RASA, Kompas, Minggu, 3 Maret 2013.
- http://www.republika.co.id/dunia-islam/islam-digest/11/05/13/ll4yop-hidup-bertetangga-ala-rasulullah

Sabtu, 16 Maret 2013

Mengharap yang Terbaik, Tapi…


Alkisah seorang pemuda yang usianya sudah kepala 3 mendatangi guru spiritual di suatu lembah. Tujuannya ingin menggali pemahaman tentang arti cinta sesungguhnya, yang sampai usianya berkepala 3 belum juga ditemukannya. Menempuh perjalanan yang jauh, sampailah dia di lembah yang hijau dan begitu meneduhkan. Seketika perasaannya disergap kenyamanan akan suasana di lembah itu.
Setelah bertemu sang guru dan mengemukakan maksud tujuannya datang ke sana, si pemuda diberi wejangan awal, yang intinya ada syarat-syarat tertentu yang harus dijunjung oleh siapa pun yang berguru kepadanya. Si pemuda sepakat untuk mengikuti aturan yang berlaku dan sanggup menjunjung tinggi persyaratan dimaksud. Oleh guru dia dikenalkan dengan orang-orang yang juga punya maksud dan tujuan  sama dengannya. Ada belasan pemuda dan pemudi yang tampak ganteng-ganteng dan cantik-cantik meski menampakkan cahaya usia yang beranjak menua.
Semua yang berguru di situ oleh sang guru dibuka kesempatan untuk saling mengenal lebih dekat, tujuannya siapa tahu antara satu sama lain saling tertarik untuk menjalin cinta dan berjodoh.
Sesi pengajaran yang harus ditempuh para pemuda dan pemudi di padepokan itu adalah selama 4 bulan. Materi ajar yang disiapkan guru untuk disimak baik-baik oleh para pemuda dan pemudi itu tentang pengendapan rohani, untuk menemukan makna cinta sejati.
Baru mengikuti pelajaran 1 bulan si pemuda tadi sudah tak tahan, mulai gelisah dan merasa tak nyaman di padepokan itu. Tak satu pun pemudi yang berguru di situ menarik hatinya untuk dikenal lebih dekat. Dia ingin segera menyelesaikan sesi pengajaran dan pergi meneruskan pencariannya di tempat lain.
“Baiklah anak muda, ikuti pelajaran 1 bulan lagi baru kamu akan saya uji,” kata sang guru. Dengan berat hati si pemuda bertahan, pikirnya kali saja ada pelajaran akhir yang akan membawa pencerahan padanya tentang hakikat cinta sejati yang bertahun-tahun dicarinya sampai usianya beranjak menua dan baru dia sadari.
Sadar usia menua namun jodoh yang dicari sesuai kriteria belum juga didapat, mendorongnya untuk “pulang” ke bilik rohani yang lama ditinggalkannya. Ditujunyalah padepokan di tempat sang guru mengajarkan pencerahan, yang diketahuinya dari banyak cerita telah berhasil membantu orang-orang yang berguru menemukan jodoh seketika kembali dari padepokan itu.
Sahdan, di akhir bulan ke 2, bersamaan dengan “murid” sang guru lainnya menempuh UTS (Ujian Tengah Sesi). Si pemuda diajak sang guru menelusuri lembah. Oleh sang guru si pemuda diberi tugas mencari putik kembang yang paling indah menurut hati nuraninya. Si pemuda pun berjalan dan terus berjalan menyusuri hamparan lembah yang sejauh mata memandang menampakkan putik-putik kembang aneka rupa dan warna yang semuanya indah.
“Pergilah cari yang menurut kamu kembang paling indah, kalau sudah ketemu bawa ke mari dan serahkan kepada saya,” kata sang guru sambil menunjuk ke arah sebuah bale bengong di tengah hamparan kembang, saya tunggu di situ.
Si pemuda pun berjalan menyusuri hamparan kembang, dari putik satu ke putik lain dilihatnya kembang-kembang itu indah semua. Sehingga tak ada yang dipetiknya dengan asumsi mungkin ada yang lebih indah, dan dia pun meneruskan pencariannya hingga akhirnya hari mulai gelap karena malam akan segera tiba. Di tengah kebingungan putik mana yang akan dipetik untuk diserahkan kepada sang guru, dia teruskan juga berjalan meski hari semakin gelap.
Rasa tanggung jawab yang mengharuskannya menemukan kembang yang paling indah seperti ditugaskan sang guru. Akhirnya di tengah keremangan alam menuju gelap, penglihatannya tertumbuk pada seputik kembang yang nampak indah karena tersamar semburat cahaya matahari yang akan tenggelam. Kembang itulah yang dia petik dan diserahkannya kepada sang guru.
Setelah menerima seputik kembang yang diserahkan si pemuda, guru itu memperhatikannya dengan seksama. Lalu berkata; “Tak ada yang spesial dari kembang yang kamu petik ini.” Pemuda itu pun mengakui bahwa banyak kembang indah-indah yang dijumpainya di tengah perjalanan, namun dia berpikir masih ada yang lebih indah sehingga tak satu pun kembang itu dipetiknya dengan harapan akan menemukan yang paling indah bila terus berjalan mencari. Hingga akhirnya gelap pun mengadangnya.

Sang guru pun tersenyum dan berkata bahwa itulah yang terjadi dalam kehidupan nyata yang kamu jalani. ”Putik kembang tak obahnya bagai gadis-gadis yang kamu temui. Banyak yang cantik tapi pikiranmu berpendapat masih ada yang lebih cantik. Sehingga kamu pun terus mencari yang paling cantik itu, namun susah kamu temukan hingga akhirnya usiamu beranjak tua. Hamparan kembang yang kamu susuri tak obahnya bagai perputaran waktu yang silih berganti dari siang ke malam dan siang kembali, Jadi, dalam kehidupan nyatamu telah terjadi apa yang kamu lakukan hanyalah menghabiskan waktu secara sia-sia. Mengharapkan yang terbaik, tapi yang kamu harapkan tak kesampaian. Waktu terbuang percuma, sedangkan waktu takkan berputar kembali ke masa lalu, sehingga kamu bisa mengulang kehidupan dari awal lagi.”

Senin, 11 Maret 2013

Si Fulan


“Kalian adalah pengelana malam dan siang. Dengan waktu yang terus berkurang dan amal yang tetap tersimpan. Siapa yang menanam kebaikan, semoga memetik apa yang menggairahkan. Siapa yang menanam keburukan sangat mungkin akan memetik penyesalan. Setiap penanam akan menuai apa yang dia tanam.”
 (Abdullah ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu)
*******
Suatu hari seorang lelaki berjalan di sebuah lembah. Tiba-tiba ia mendengar suara di langit, “siramlah kebun fulan”. Maka seketika tercurahlah air hujan lalu memenuhi kubangan-kubangan sehingga terbentuk kanal-kanal kecil dan mengalirkan air ke tempat yang lebih rendah. Lelaki itu mencoba mengikuti ke mana arah air itu mengalir. Akhirnya sampailah ia itu ke sebuah kebun. Di sana dilihatnya seorang petani tua sedang mengatur aliran air dengan cangkulnya agar menyebar membasahi seluruh areal kebunnya.
Kepada petani tua di kebun itu lelaki tadi bertanya, “wahai saudara, siapakah namamu?” Petani tua itu menjawab dengan menyebutkan nama seperti yang didengarnya di langit. Petani itu pun balik bertanya, “mengapa engkau bertanya tentang namaku?” Lelaki itu menjawab, “sesungguhnya aku mendengar suara di langit yang menurunkan air ini. Siramlah kebun fulan, yaitu nama engkau. Sebenarnya apa yang telah engkau perbuat?”
“Sesungguhnya aku selalu membagi hasil kebun ini menjadi tiga bagian. Sepertiga aku sedekahkan, sepertiga aku makan bersama keluarga, dan sepertiga aku pakai untuk modal menanami lagi kebun ini.”   
| Kisah ini diriwayatkan Imam Muslim dari Abu Hurairah |  
*******
Kisah seorang petani yang sederhana tapi memahami arti kebajikan. Dia mengerti bahwa apa yang diperolehnya dari hasil panen, adalah karunia yang patut disyukuri. Caranya bersyukur bukan dengan menikmati seluruh apa yang dia dapat, melainkan dengan penuh kesadaran bahwa ada hak orang lain dalam hasil panen yang diperolehnya. Maka, dengan bijak dia penuhi hak orang lain itu, berupa 2,5% zakat dan diiringinya pula dengan sedekah, sehingga mencakup sepertiga dari seluruh hasil yang didapatnya.
Di balik kesederhanaan kisah di atas, tersimpan sesuatu yang menakjubkan. Betapa petani tua itu paham cara berbuat baik kepada keluarganya. Dia bekerja keras mencari nafkah dengan mengolah kebun sejak menebar bibit lalu merawat tanaman hingga memanen.  Ia berbuat baik kepada orang lain dengan cara bersedekah dari hasil panennya. Ia juga berbuat baik kepada lahan kebunnya dengan cara menyisihkan sepertiga hasil panen untuk membeli bibit, pupuk agar kesuburan tanahnya terjaga dan hasil panen melimpah, juga menjaga aliran air yang akan menyegarkan tanaman.
Rasulullah SAW bersabda; “Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia (lainnya)” (HR. Thabrani). Seperti yang disampaikan Abdullah ibnu Mas’ud radiyallahu ‘anhu di atas, kita adalah pengelana malam dan siang, dengan waktu yang terus berkurang namun amal yang terus tersimpan. Kita pun akan menuai apa yang kita tanam. Banyak hal bisa kita perbuat dan kita jadikan pohon kebaikan yang akan menghasilkan buah penambah amal untuk bekal ‘pulang’ ke alam yang kekal.
Sebagai pengelana malam dan siang, perbanyaklah membuka pintu-pintu kebaikan sebagai pengejawantahan bahwa kita bermanfaat bagi orang lain. Pintu-pintu kebaikan akan mengalirkan amal masuk dan tersimpan dalam ‘rumah keabadian’ kelak kalau kita sudah tak ada, kalau sudah tak bisa lagi menanam, kalau sudah tak bisa lagi bermanfaat bagi orang lain. Tapi, tetap masih bisa menuai apa yang pernah kita tanam.
| Bandarlampung, Senin, 11 Maret 2013 | 07:48 |

Rabu, 06 Maret 2013

Etika dan Korupsi


“Barang siapa berbuat baik maka (ia berbuat baik) untuk dirinya sendiri, dan barang siapa berbuat jahat maka (ia berbuat jahat) terhadap dirinya sendiri.”
QS. Fushshilat [41] : 46

*******
Salah satu manifestasi lemahnya penerapan hukum dalam negara yang dikategorikan “lunak” sebagaimana yang disebutkan Gunnar Myrdal, adalah maraknya korupsi. Penyebabnya faktor historis dan institusional. Ini melanjutkan postingan “Menyempurnakan Akhlak” di mana telah dikemukakan bahwa pada dasarnya, akhlak seseorang ialah tingkah laku yang konstan. Kalau tingkah lakunya baik, maka kecenderungannya berlaku baik secara kesinambungan. Sebaliknya, kalau watak jahat yang melekat juga cenderung berperilaku tidak baik.
Faktor historis yang melatarbelakangi tiadanya disiplin sosial, di mana dari kondisi terjajah berubah ke alam merdeka. Dari pemerintahan kolonial ke pemerintahan sendiri. Membuat struktur kekuasaan ekonomi, sosial dan politik berkembang sedemikian drastis. Di masa kolonial semua aspek pemerintahan, sosial ekonomi dan politik dijalankan oleh orang yang mumpuni di bidangnya masing-masing. Begitu negeri kita merdeka semuanya digantikan oleh serba “priboemi.” Pegawai direkrut orang-orang pribumi, politik diisi oleh orang-orang pribumi, sektor ekonomi juga digarap oleh orang-orang pribumi. Perubahan yang drastis dan diisi oleh “orang-orang pribumi” yang minim pengetahuan dan pengalaman. Gaji rendah yang diterima para pegawai, politisi yang memegang kekuasaan dan kedudukan penting, pelaksana administrasi menerapkan ‘kebijaksanaan’ sesuai kehendak pribadi. Kesemuanya itu (gaji kecil pegawai, kekuasaan politisi, sistem administrasi) membuka lebar pintu bagi praktek-praktek korupsi.
Korupsi harus dipandang dari sudut yang dinamis. Di zaman kolonial Belanda negeri kita bebas dari korupsi. Tetapi, begitu menikmati manisnya buah kemerdekaan, virus korupsi mulai menyebar ke sendi-sendi kehidupan dan menjadi gejala umum. Tak ada kemauan untuk melawan godaan suap, membuat semua lapisan birokrasi jadi tercemar oleh tindak penyalahgunaan kedudukan oleh segelintir orang demi kepentingan pribadi.
Demikian kompleks kalau ditelusuri bagaimana virus korupsi bergerak dalam tubuh birokrasi. Demikian merusak dampak yang ditimbulkan pelaku korupsi. Efek buruknya, muncul sikap sinisme di kalangan masyarakat yang berupaya kuat menjunjung etika, kejujuran, integritas, sebagaimana yang dituntunkan (diajarkan) agama yang dianutnya secara istikomah.
Tidak ada jalan bagi usaha memberantas korupsi selain daripada kemauan politik (political will) yang kuat dan keteladanan pemimpin. Kedua-duanya harus berjalan seiring dan bersama-sama. Tanpa keteladanan, apapun seruan dan tindakan seorang pemimpin tidak akan efektif membuat orang yang diserunya mau mematuhi seruannya. Dan kewibawaan pemimpin juga akan tereduksi, membuat orang yang dipimpinnya tidak respek, juga tidak menaruh hormat.
Hanya dengan keteladanan saja, tanpa kemauan politik yang kuat, kepemimpinan seorang pemimpin tidak akan efektif. Jadi, harus kedua-duanya dijalankan bersama. Hal yang berat sebab secara langsung tersangkut masalah etika. Tekad memberantas korupsi dan keteguhan hati sendiri untuk tidak korup adalah problema etika. Sebab, di dalamnya tersirat proses mencari dan memutuskan mana yang benar dan mana yang salah, mana yang baik dan mana yang buruk. Dengan kata lain, sikap itu melibatkan “pola kehidupan yang tindakan itu sendiri merupakan bagiannya” (the pattern of life to which the act belongs). Seperti, misalnya tindakan “menghormati hak milik orang lain” dan “mencuri” atau “korupsi”, masing-masing merupakan bagian dari dua pola hidup menyeluruh yang saling berbeda.
Berkenaan dengan etika, akan muncul pertanyaan “Jika Anda tidak mau memberantas korupsi, apakah Anda sebenarnya setuju dengan korupsi? Dan jika Anda setuju dengan korupsi, maka apakah tidak berarti Anda setuju dengan suatu pola hidup menyeluruh yang di situ korupsi merupakan bagian, dan yang meliputi pula penipuan, merusak kepercayaan orang, dan sikap tidak menghormati perasaan, harapan, dan keinginan orang lain? Yang berarti juga Anda telah melakukan pengingkaran terhadap anjuran Tuhan lewat Rasul-Nya, bahwa “hendaklah Anda berbuat baik bagi sesama”, “hendaklah Anda menjadi Rahmatan lil ‘alamiin”. Yang juga bisa diterjemahkan bahwa Anda tidak bisa menyelaraskan antara kata dan perbuatan, antara khutbah dan tindakan, antara teori dan praktek.
Terhadap korupsi, apakah memberantasnya atau tidak. Apakah mengikutinya atau menolak. Apakah membiarkannya atau menghalang-halanginya. Apakah peduli terhadapnya atau acuh tak acuh. Keputusan mengenai pilihannya, sesungguhnya adalah antara nilai-nilai. Sehingga termasuk tindakan etikal. Jadi, pilihan moral itu melibatkan dampak penambahan atau pengurangan nilai-nilai hidup semua manusia.

Pilihan etika yang positif, adalah tindakan yang bertanggung jawab antara orang bersangkutan dengan hati nuraninya sendiri. Kemudian tanggung jawab kepada Tuhan. Sebab perbuatan baik manusia bukanlah ”untuk kepentingan” Tuhan (sekalipun justru harus dilakukan demi Tuhan), melainkan untuk kepentingan manusia sendiri. Sebagaimana perbuatan jahatnya tidaklah akan ”merugikan” Tuhan, melainkan merugikan manusia bersangkutan sendiri. Seperti nukilan Firman Alloh Swt yang telah dikemukakan di atas. 

Jumat, 01 Maret 2013

Menyempurnakan Akhlak


Tujuan tugas kerasulan Nabi Muhammad SAW tidak lain adalah membentuk masyarakat etis melalui pendidikan pribadi para pemeluknya. Sebagaimana penegasan Nabi dalam sabda beliau yang amat popular, “Innamabuitstu li utammima makarim al-akhlaq” (sesungguhnya aku diutus hanyalah untuk menyempurnakan berbagai penyimpangan akhlak).
Antara apa yang ditegaskan Nabi dengan bagaimana prakteknya dalam kehidupan banyak umat muslim tertentu, tuntutan untuk hidup berakhlak selalu didengungkan dalam berbagai kesempatan (khotbah jumatan, dakwah dan pengajian).
Konsep tentang akhlak sebagai citra, jati diri atau budi pekerti, dapat ditelusur secara etimologis kepada asal makna perkataan akhlaq itu sendiri yang merupakan bentuk jamak perkataan khulq. Kata ini satu akar dengan kata-kata Khaliq (Pencipta, yakni Tuhan) dan makhluq (yang diciptakan, yakni segala sesuatu selain Tuhan), khulq dan akhlaq mengacu kepada konsep tentang “ciptaan” atau “kejadian” manusia.
Baik buruknya akhlak seseorang mengacu kepada dirinya sebagaimana diciptakan atau dijadikan (lingkungan dari mana seseorang berasal). Akhlak seseorang juga dipengaruhi perkembangan pribadi, pengalaman, dan pendidikannya. Namun kebiasaan yang dibentuk dan nantinya melekat pada seseorang sehingga dapat dipandang sebagai hal “alami” pada seseorang tersebut (habit is second nature).
Pada dasarnya, akhlak seseorang ialah tingkah laku yang konstan, sebab di situlah letak “kesejatian” dirinya. Karena itu salah satu implikasi keagamaan seseorang adalah tindak lakunya yang mencerminkan punya moral atau etika.
Lantas, apakah seseorang yang melakukan tindakan korupsi menunjukkan bahwa akhlaknya berubah, dan “kesejatian” dirinya tercampak? Gunnar Myrdal, ekonom Swedia menyebut negeri kita ke dalam kelompok negara-negara lunak. Nyatanya, segala aspek terkesan tak ada nyali. Di ranah hukum mandul, pisau hukum hanya tajam bagi rakyat kecil tapi tumpul bagi orang berduit.
Dalam “negara lunak” disebutkan Myrdal tidak adanya disiplin sosial, yaitu terjadinya kesewenangan yang bisa ataua malah memang sengaja disalahgunakan untuk kepentingan pribadi oleh orang-orang yang mempunyai kekuatan ekonomi, sosial dan politik. Dengan sendirinya terbuka lebar kesempatan untuk melakukan penyalahgunaan dalam ukuran besar bagi kalangan atas. Bahkan orang dari anak tangga paling bawah pun punya peluang untuk melakukannya, contoh dalam hal ini Gayus Halomoan Tambunan, pegawai rendahan tapi bisa mengorup duit negara dalam jumlah yang pantastis.
Maka ditegaskan oleh Myrdal bahwa corruption is fundamentally nothing but one specific manifestation of the soft state. Bergandengan dengan masalah korupsi, Myrdal berkata “sementara di satu pihak di negeri-negeri berkembang terbukti sulit untuk mengintroduksi motif-motif keuntungan yang rasional dan tingkah laku pasar ke dalam sektor kehidupan.
Hanya orang-orang yang istikomah berpegang teguh pada Tali Allah dan mencintai Rasulullah SAW yang  senantiasa berjuang meraih derajat akhlaqul karimah, lalu menjunjungnya tinggi-tinggi agar meraih posisi sebagai insan kamil.
Wallahu ‘alam bish showab.