Rabu, 06 Maret 2013

Etika dan Korupsi


“Barang siapa berbuat baik maka (ia berbuat baik) untuk dirinya sendiri, dan barang siapa berbuat jahat maka (ia berbuat jahat) terhadap dirinya sendiri.”
QS. Fushshilat [41] : 46

*******
Salah satu manifestasi lemahnya penerapan hukum dalam negara yang dikategorikan “lunak” sebagaimana yang disebutkan Gunnar Myrdal, adalah maraknya korupsi. Penyebabnya faktor historis dan institusional. Ini melanjutkan postingan “Menyempurnakan Akhlak” di mana telah dikemukakan bahwa pada dasarnya, akhlak seseorang ialah tingkah laku yang konstan. Kalau tingkah lakunya baik, maka kecenderungannya berlaku baik secara kesinambungan. Sebaliknya, kalau watak jahat yang melekat juga cenderung berperilaku tidak baik.
Faktor historis yang melatarbelakangi tiadanya disiplin sosial, di mana dari kondisi terjajah berubah ke alam merdeka. Dari pemerintahan kolonial ke pemerintahan sendiri. Membuat struktur kekuasaan ekonomi, sosial dan politik berkembang sedemikian drastis. Di masa kolonial semua aspek pemerintahan, sosial ekonomi dan politik dijalankan oleh orang yang mumpuni di bidangnya masing-masing. Begitu negeri kita merdeka semuanya digantikan oleh serba “priboemi.” Pegawai direkrut orang-orang pribumi, politik diisi oleh orang-orang pribumi, sektor ekonomi juga digarap oleh orang-orang pribumi. Perubahan yang drastis dan diisi oleh “orang-orang pribumi” yang minim pengetahuan dan pengalaman. Gaji rendah yang diterima para pegawai, politisi yang memegang kekuasaan dan kedudukan penting, pelaksana administrasi menerapkan ‘kebijaksanaan’ sesuai kehendak pribadi. Kesemuanya itu (gaji kecil pegawai, kekuasaan politisi, sistem administrasi) membuka lebar pintu bagi praktek-praktek korupsi.
Korupsi harus dipandang dari sudut yang dinamis. Di zaman kolonial Belanda negeri kita bebas dari korupsi. Tetapi, begitu menikmati manisnya buah kemerdekaan, virus korupsi mulai menyebar ke sendi-sendi kehidupan dan menjadi gejala umum. Tak ada kemauan untuk melawan godaan suap, membuat semua lapisan birokrasi jadi tercemar oleh tindak penyalahgunaan kedudukan oleh segelintir orang demi kepentingan pribadi.
Demikian kompleks kalau ditelusuri bagaimana virus korupsi bergerak dalam tubuh birokrasi. Demikian merusak dampak yang ditimbulkan pelaku korupsi. Efek buruknya, muncul sikap sinisme di kalangan masyarakat yang berupaya kuat menjunjung etika, kejujuran, integritas, sebagaimana yang dituntunkan (diajarkan) agama yang dianutnya secara istikomah.
Tidak ada jalan bagi usaha memberantas korupsi selain daripada kemauan politik (political will) yang kuat dan keteladanan pemimpin. Kedua-duanya harus berjalan seiring dan bersama-sama. Tanpa keteladanan, apapun seruan dan tindakan seorang pemimpin tidak akan efektif membuat orang yang diserunya mau mematuhi seruannya. Dan kewibawaan pemimpin juga akan tereduksi, membuat orang yang dipimpinnya tidak respek, juga tidak menaruh hormat.
Hanya dengan keteladanan saja, tanpa kemauan politik yang kuat, kepemimpinan seorang pemimpin tidak akan efektif. Jadi, harus kedua-duanya dijalankan bersama. Hal yang berat sebab secara langsung tersangkut masalah etika. Tekad memberantas korupsi dan keteguhan hati sendiri untuk tidak korup adalah problema etika. Sebab, di dalamnya tersirat proses mencari dan memutuskan mana yang benar dan mana yang salah, mana yang baik dan mana yang buruk. Dengan kata lain, sikap itu melibatkan “pola kehidupan yang tindakan itu sendiri merupakan bagiannya” (the pattern of life to which the act belongs). Seperti, misalnya tindakan “menghormati hak milik orang lain” dan “mencuri” atau “korupsi”, masing-masing merupakan bagian dari dua pola hidup menyeluruh yang saling berbeda.
Berkenaan dengan etika, akan muncul pertanyaan “Jika Anda tidak mau memberantas korupsi, apakah Anda sebenarnya setuju dengan korupsi? Dan jika Anda setuju dengan korupsi, maka apakah tidak berarti Anda setuju dengan suatu pola hidup menyeluruh yang di situ korupsi merupakan bagian, dan yang meliputi pula penipuan, merusak kepercayaan orang, dan sikap tidak menghormati perasaan, harapan, dan keinginan orang lain? Yang berarti juga Anda telah melakukan pengingkaran terhadap anjuran Tuhan lewat Rasul-Nya, bahwa “hendaklah Anda berbuat baik bagi sesama”, “hendaklah Anda menjadi Rahmatan lil ‘alamiin”. Yang juga bisa diterjemahkan bahwa Anda tidak bisa menyelaraskan antara kata dan perbuatan, antara khutbah dan tindakan, antara teori dan praktek.
Terhadap korupsi, apakah memberantasnya atau tidak. Apakah mengikutinya atau menolak. Apakah membiarkannya atau menghalang-halanginya. Apakah peduli terhadapnya atau acuh tak acuh. Keputusan mengenai pilihannya, sesungguhnya adalah antara nilai-nilai. Sehingga termasuk tindakan etikal. Jadi, pilihan moral itu melibatkan dampak penambahan atau pengurangan nilai-nilai hidup semua manusia.

Pilihan etika yang positif, adalah tindakan yang bertanggung jawab antara orang bersangkutan dengan hati nuraninya sendiri. Kemudian tanggung jawab kepada Tuhan. Sebab perbuatan baik manusia bukanlah ”untuk kepentingan” Tuhan (sekalipun justru harus dilakukan demi Tuhan), melainkan untuk kepentingan manusia sendiri. Sebagaimana perbuatan jahatnya tidaklah akan ”merugikan” Tuhan, melainkan merugikan manusia bersangkutan sendiri. Seperti nukilan Firman Alloh Swt yang telah dikemukakan di atas. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.