“Barang siapa berbuat baik maka (ia
berbuat baik) untuk dirinya sendiri, dan barang siapa berbuat jahat maka (ia
berbuat jahat) terhadap dirinya sendiri.”
QS. Fushshilat [41] : 46
*******
Salah satu manifestasi lemahnya
penerapan hukum dalam negara yang dikategorikan “lunak” sebagaimana yang
disebutkan Gunnar Myrdal, adalah maraknya korupsi. Penyebabnya faktor historis
dan institusional. Ini melanjutkan postingan “Menyempurnakan Akhlak” di mana telah
dikemukakan bahwa pada dasarnya, akhlak seseorang ialah tingkah laku yang
konstan. Kalau tingkah lakunya baik, maka kecenderungannya berlaku baik secara
kesinambungan. Sebaliknya, kalau watak jahat yang melekat juga cenderung
berperilaku tidak baik.
Faktor historis yang
melatarbelakangi tiadanya disiplin sosial, di mana dari kondisi terjajah
berubah ke alam merdeka. Dari pemerintahan kolonial ke pemerintahan sendiri.
Membuat struktur kekuasaan ekonomi, sosial dan politik berkembang sedemikian
drastis. Di masa kolonial semua aspek pemerintahan, sosial ekonomi dan politik
dijalankan oleh orang yang mumpuni di bidangnya masing-masing. Begitu negeri
kita merdeka semuanya digantikan oleh serba “priboemi.” Pegawai direkrut
orang-orang pribumi, politik diisi oleh orang-orang pribumi, sektor ekonomi juga
digarap oleh orang-orang pribumi. Perubahan yang drastis dan diisi oleh
“orang-orang pribumi” yang minim pengetahuan dan pengalaman. Gaji rendah yang
diterima para pegawai, politisi yang memegang kekuasaan dan kedudukan penting,
pelaksana administrasi menerapkan ‘kebijaksanaan’ sesuai kehendak pribadi.
Kesemuanya itu (gaji kecil pegawai, kekuasaan politisi, sistem administrasi)
membuka lebar pintu bagi praktek-praktek korupsi.
Korupsi harus dipandang dari
sudut yang dinamis. Di zaman kolonial Belanda negeri kita bebas dari korupsi.
Tetapi, begitu menikmati manisnya buah kemerdekaan, virus korupsi mulai
menyebar ke sendi-sendi kehidupan dan menjadi gejala umum. Tak ada kemauan
untuk melawan godaan suap, membuat semua lapisan birokrasi jadi tercemar oleh
tindak penyalahgunaan kedudukan oleh segelintir orang demi kepentingan pribadi.
Demikian kompleks kalau
ditelusuri bagaimana virus korupsi bergerak dalam tubuh birokrasi. Demikian
merusak dampak yang ditimbulkan pelaku korupsi. Efek buruknya, muncul sikap sinisme
di kalangan masyarakat yang berupaya kuat menjunjung etika, kejujuran,
integritas, sebagaimana yang dituntunkan (diajarkan) agama yang dianutnya
secara istikomah.
Tidak ada jalan bagi usaha
memberantas korupsi selain daripada kemauan politik (political will) yang kuat dan keteladanan pemimpin. Kedua-duanya harus
berjalan seiring dan bersama-sama. Tanpa keteladanan, apapun seruan dan
tindakan seorang pemimpin tidak akan efektif membuat orang yang diserunya mau
mematuhi seruannya. Dan kewibawaan pemimpin juga akan tereduksi, membuat orang
yang dipimpinnya tidak respek, juga tidak menaruh hormat.
Hanya dengan keteladanan saja,
tanpa kemauan politik yang kuat, kepemimpinan seorang pemimpin tidak akan
efektif. Jadi, harus kedua-duanya dijalankan bersama. Hal yang berat sebab
secara langsung tersangkut masalah etika. Tekad memberantas korupsi dan
keteguhan hati sendiri untuk tidak korup adalah problema etika. Sebab, di
dalamnya tersirat proses mencari dan memutuskan mana yang benar dan mana yang
salah, mana yang baik dan mana yang buruk. Dengan kata lain, sikap itu
melibatkan “pola kehidupan yang tindakan itu sendiri merupakan bagiannya” (the pattern of life to which the act belongs).
Seperti, misalnya tindakan “menghormati hak milik orang lain” dan “mencuri”
atau “korupsi”, masing-masing merupakan bagian dari dua pola hidup menyeluruh
yang saling berbeda.
Berkenaan dengan etika, akan
muncul pertanyaan “Jika Anda tidak mau memberantas korupsi, apakah Anda
sebenarnya setuju dengan korupsi? Dan jika Anda setuju dengan korupsi, maka
apakah tidak berarti Anda setuju dengan suatu pola hidup menyeluruh yang di
situ korupsi merupakan bagian, dan yang meliputi pula penipuan, merusak
kepercayaan orang, dan sikap tidak menghormati perasaan, harapan, dan keinginan
orang lain? Yang berarti juga Anda telah melakukan pengingkaran terhadap
anjuran Tuhan lewat Rasul-Nya, bahwa “hendaklah Anda berbuat baik bagi sesama”,
“hendaklah Anda menjadi Rahmatan lil ‘alamiin”. Yang juga bisa diterjemahkan
bahwa Anda tidak bisa menyelaraskan antara kata dan perbuatan, antara khutbah
dan tindakan, antara teori dan praktek.
Terhadap korupsi, apakah
memberantasnya atau tidak. Apakah mengikutinya atau menolak. Apakah
membiarkannya atau menghalang-halanginya. Apakah peduli terhadapnya atau acuh tak
acuh. Keputusan mengenai pilihannya, sesungguhnya adalah antara nilai-nilai.
Sehingga termasuk tindakan etikal. Jadi, pilihan moral itu melibatkan dampak
penambahan atau pengurangan nilai-nilai hidup semua manusia.
Pilihan etika yang positif, adalah tindakan yang bertanggung jawab antara orang bersangkutan dengan hati nuraninya sendiri. Kemudian tanggung jawab kepada Tuhan. Sebab perbuatan baik manusia bukanlah ”untuk kepentingan” Tuhan (sekalipun justru harus dilakukan demi Tuhan), melainkan untuk kepentingan manusia sendiri. Sebagaimana perbuatan jahatnya tidaklah akan ”merugikan” Tuhan, melainkan merugikan manusia bersangkutan sendiri. Seperti nukilan Firman Alloh Swt yang telah dikemukakan di atas.
Pilihan etika yang positif, adalah tindakan yang bertanggung jawab antara orang bersangkutan dengan hati nuraninya sendiri. Kemudian tanggung jawab kepada Tuhan. Sebab perbuatan baik manusia bukanlah ”untuk kepentingan” Tuhan (sekalipun justru harus dilakukan demi Tuhan), melainkan untuk kepentingan manusia sendiri. Sebagaimana perbuatan jahatnya tidaklah akan ”merugikan” Tuhan, melainkan merugikan manusia bersangkutan sendiri. Seperti nukilan Firman Alloh Swt yang telah dikemukakan di atas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.