“Kalian adalah pengelana malam dan siang. Dengan waktu yang terus
berkurang dan amal yang tetap tersimpan. Siapa yang menanam kebaikan, semoga
memetik apa yang menggairahkan. Siapa yang menanam keburukan sangat mungkin
akan memetik penyesalan. Setiap penanam akan menuai apa yang dia tanam.”
(Abdullah ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu)
*******
Suatu hari seorang lelaki berjalan di sebuah
lembah. Tiba-tiba ia mendengar suara di langit, “siramlah kebun fulan”. Maka
seketika tercurahlah air hujan lalu memenuhi kubangan-kubangan sehingga
terbentuk kanal-kanal kecil dan mengalirkan air ke tempat yang lebih rendah. Lelaki
itu mencoba mengikuti ke mana arah air itu mengalir. Akhirnya sampailah ia itu
ke sebuah kebun. Di sana dilihatnya seorang petani tua sedang mengatur aliran
air dengan cangkulnya agar menyebar membasahi seluruh areal kebunnya.
Kepada petani tua di kebun itu lelaki tadi
bertanya, “wahai saudara, siapakah namamu?” Petani tua itu menjawab dengan
menyebutkan nama seperti yang didengarnya di langit. Petani itu pun balik
bertanya, “mengapa engkau bertanya tentang namaku?” Lelaki itu menjawab,
“sesungguhnya aku mendengar suara di langit yang menurunkan air ini. Siramlah
kebun fulan, yaitu nama engkau. Sebenarnya apa yang telah engkau perbuat?”
“Sesungguhnya aku selalu membagi hasil kebun
ini menjadi tiga bagian. Sepertiga aku sedekahkan, sepertiga aku makan bersama
keluarga, dan sepertiga aku pakai untuk modal menanami lagi kebun ini.”
| Kisah ini diriwayatkan Imam
Muslim dari Abu Hurairah |
*******
Kisah seorang petani yang sederhana tapi
memahami arti kebajikan. Dia mengerti bahwa apa yang diperolehnya dari hasil
panen, adalah karunia yang patut disyukuri. Caranya bersyukur bukan dengan menikmati
seluruh apa yang dia dapat, melainkan dengan penuh kesadaran bahwa ada hak
orang lain dalam hasil panen yang diperolehnya. Maka, dengan bijak dia penuhi
hak orang lain itu, berupa 2,5% zakat dan diiringinya pula dengan sedekah,
sehingga mencakup sepertiga dari seluruh hasil yang didapatnya.
Di balik kesederhanaan kisah di atas, tersimpan
sesuatu yang menakjubkan. Betapa petani tua itu paham cara berbuat baik kepada
keluarganya. Dia bekerja keras mencari nafkah dengan mengolah kebun sejak
menebar bibit lalu merawat tanaman hingga memanen. Ia berbuat baik kepada orang lain dengan cara
bersedekah dari hasil panennya. Ia juga berbuat baik kepada lahan kebunnya
dengan cara menyisihkan sepertiga hasil panen untuk membeli bibit, pupuk agar
kesuburan tanahnya terjaga dan hasil panen melimpah, juga menjaga aliran air
yang akan menyegarkan tanaman.
Rasulullah SAW bersabda; “Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi
manusia (lainnya)” (HR. Thabrani). Seperti yang disampaikan Abdullah
ibnu Mas’ud radiyallahu ‘anhu di atas, kita adalah pengelana malam dan siang,
dengan waktu yang terus berkurang namun amal yang terus tersimpan. Kita pun
akan menuai apa yang kita tanam. Banyak hal bisa kita perbuat dan kita jadikan
pohon kebaikan yang akan menghasilkan buah penambah amal untuk bekal ‘pulang’
ke alam yang kekal.
Sebagai pengelana malam dan siang, perbanyaklah
membuka pintu-pintu kebaikan sebagai pengejawantahan bahwa kita bermanfaat bagi
orang lain. Pintu-pintu kebaikan akan mengalirkan amal masuk dan tersimpan
dalam ‘rumah keabadian’ kelak kalau kita sudah tak ada, kalau sudah tak bisa
lagi menanam, kalau sudah tak bisa lagi bermanfaat bagi orang lain. Tapi, tetap
masih bisa menuai apa yang pernah kita tanam.
| Bandarlampung, Senin, 11 Maret 2013 | 07:48 |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.