Senin, 11 Maret 2013

Si Fulan


“Kalian adalah pengelana malam dan siang. Dengan waktu yang terus berkurang dan amal yang tetap tersimpan. Siapa yang menanam kebaikan, semoga memetik apa yang menggairahkan. Siapa yang menanam keburukan sangat mungkin akan memetik penyesalan. Setiap penanam akan menuai apa yang dia tanam.”
 (Abdullah ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu)
*******
Suatu hari seorang lelaki berjalan di sebuah lembah. Tiba-tiba ia mendengar suara di langit, “siramlah kebun fulan”. Maka seketika tercurahlah air hujan lalu memenuhi kubangan-kubangan sehingga terbentuk kanal-kanal kecil dan mengalirkan air ke tempat yang lebih rendah. Lelaki itu mencoba mengikuti ke mana arah air itu mengalir. Akhirnya sampailah ia itu ke sebuah kebun. Di sana dilihatnya seorang petani tua sedang mengatur aliran air dengan cangkulnya agar menyebar membasahi seluruh areal kebunnya.
Kepada petani tua di kebun itu lelaki tadi bertanya, “wahai saudara, siapakah namamu?” Petani tua itu menjawab dengan menyebutkan nama seperti yang didengarnya di langit. Petani itu pun balik bertanya, “mengapa engkau bertanya tentang namaku?” Lelaki itu menjawab, “sesungguhnya aku mendengar suara di langit yang menurunkan air ini. Siramlah kebun fulan, yaitu nama engkau. Sebenarnya apa yang telah engkau perbuat?”
“Sesungguhnya aku selalu membagi hasil kebun ini menjadi tiga bagian. Sepertiga aku sedekahkan, sepertiga aku makan bersama keluarga, dan sepertiga aku pakai untuk modal menanami lagi kebun ini.”   
| Kisah ini diriwayatkan Imam Muslim dari Abu Hurairah |  
*******
Kisah seorang petani yang sederhana tapi memahami arti kebajikan. Dia mengerti bahwa apa yang diperolehnya dari hasil panen, adalah karunia yang patut disyukuri. Caranya bersyukur bukan dengan menikmati seluruh apa yang dia dapat, melainkan dengan penuh kesadaran bahwa ada hak orang lain dalam hasil panen yang diperolehnya. Maka, dengan bijak dia penuhi hak orang lain itu, berupa 2,5% zakat dan diiringinya pula dengan sedekah, sehingga mencakup sepertiga dari seluruh hasil yang didapatnya.
Di balik kesederhanaan kisah di atas, tersimpan sesuatu yang menakjubkan. Betapa petani tua itu paham cara berbuat baik kepada keluarganya. Dia bekerja keras mencari nafkah dengan mengolah kebun sejak menebar bibit lalu merawat tanaman hingga memanen.  Ia berbuat baik kepada orang lain dengan cara bersedekah dari hasil panennya. Ia juga berbuat baik kepada lahan kebunnya dengan cara menyisihkan sepertiga hasil panen untuk membeli bibit, pupuk agar kesuburan tanahnya terjaga dan hasil panen melimpah, juga menjaga aliran air yang akan menyegarkan tanaman.
Rasulullah SAW bersabda; “Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia (lainnya)” (HR. Thabrani). Seperti yang disampaikan Abdullah ibnu Mas’ud radiyallahu ‘anhu di atas, kita adalah pengelana malam dan siang, dengan waktu yang terus berkurang namun amal yang terus tersimpan. Kita pun akan menuai apa yang kita tanam. Banyak hal bisa kita perbuat dan kita jadikan pohon kebaikan yang akan menghasilkan buah penambah amal untuk bekal ‘pulang’ ke alam yang kekal.
Sebagai pengelana malam dan siang, perbanyaklah membuka pintu-pintu kebaikan sebagai pengejawantahan bahwa kita bermanfaat bagi orang lain. Pintu-pintu kebaikan akan mengalirkan amal masuk dan tersimpan dalam ‘rumah keabadian’ kelak kalau kita sudah tak ada, kalau sudah tak bisa lagi menanam, kalau sudah tak bisa lagi bermanfaat bagi orang lain. Tapi, tetap masih bisa menuai apa yang pernah kita tanam.
| Bandarlampung, Senin, 11 Maret 2013 | 07:48 |

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.