Jumat, 01 Maret 2013

Menyempurnakan Akhlak


Tujuan tugas kerasulan Nabi Muhammad SAW tidak lain adalah membentuk masyarakat etis melalui pendidikan pribadi para pemeluknya. Sebagaimana penegasan Nabi dalam sabda beliau yang amat popular, “Innamabuitstu li utammima makarim al-akhlaq” (sesungguhnya aku diutus hanyalah untuk menyempurnakan berbagai penyimpangan akhlak).
Antara apa yang ditegaskan Nabi dengan bagaimana prakteknya dalam kehidupan banyak umat muslim tertentu, tuntutan untuk hidup berakhlak selalu didengungkan dalam berbagai kesempatan (khotbah jumatan, dakwah dan pengajian).
Konsep tentang akhlak sebagai citra, jati diri atau budi pekerti, dapat ditelusur secara etimologis kepada asal makna perkataan akhlaq itu sendiri yang merupakan bentuk jamak perkataan khulq. Kata ini satu akar dengan kata-kata Khaliq (Pencipta, yakni Tuhan) dan makhluq (yang diciptakan, yakni segala sesuatu selain Tuhan), khulq dan akhlaq mengacu kepada konsep tentang “ciptaan” atau “kejadian” manusia.
Baik buruknya akhlak seseorang mengacu kepada dirinya sebagaimana diciptakan atau dijadikan (lingkungan dari mana seseorang berasal). Akhlak seseorang juga dipengaruhi perkembangan pribadi, pengalaman, dan pendidikannya. Namun kebiasaan yang dibentuk dan nantinya melekat pada seseorang sehingga dapat dipandang sebagai hal “alami” pada seseorang tersebut (habit is second nature).
Pada dasarnya, akhlak seseorang ialah tingkah laku yang konstan, sebab di situlah letak “kesejatian” dirinya. Karena itu salah satu implikasi keagamaan seseorang adalah tindak lakunya yang mencerminkan punya moral atau etika.
Lantas, apakah seseorang yang melakukan tindakan korupsi menunjukkan bahwa akhlaknya berubah, dan “kesejatian” dirinya tercampak? Gunnar Myrdal, ekonom Swedia menyebut negeri kita ke dalam kelompok negara-negara lunak. Nyatanya, segala aspek terkesan tak ada nyali. Di ranah hukum mandul, pisau hukum hanya tajam bagi rakyat kecil tapi tumpul bagi orang berduit.
Dalam “negara lunak” disebutkan Myrdal tidak adanya disiplin sosial, yaitu terjadinya kesewenangan yang bisa ataua malah memang sengaja disalahgunakan untuk kepentingan pribadi oleh orang-orang yang mempunyai kekuatan ekonomi, sosial dan politik. Dengan sendirinya terbuka lebar kesempatan untuk melakukan penyalahgunaan dalam ukuran besar bagi kalangan atas. Bahkan orang dari anak tangga paling bawah pun punya peluang untuk melakukannya, contoh dalam hal ini Gayus Halomoan Tambunan, pegawai rendahan tapi bisa mengorup duit negara dalam jumlah yang pantastis.
Maka ditegaskan oleh Myrdal bahwa corruption is fundamentally nothing but one specific manifestation of the soft state. Bergandengan dengan masalah korupsi, Myrdal berkata “sementara di satu pihak di negeri-negeri berkembang terbukti sulit untuk mengintroduksi motif-motif keuntungan yang rasional dan tingkah laku pasar ke dalam sektor kehidupan.
Hanya orang-orang yang istikomah berpegang teguh pada Tali Allah dan mencintai Rasulullah SAW yang  senantiasa berjuang meraih derajat akhlaqul karimah, lalu menjunjungnya tinggi-tinggi agar meraih posisi sebagai insan kamil.
Wallahu ‘alam bish showab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.