Tujuan tugas
kerasulan Nabi Muhammad SAW tidak lain adalah membentuk masyarakat etis melalui
pendidikan pribadi para pemeluknya. Sebagaimana penegasan Nabi dalam sabda
beliau yang amat popular, “Innama’ buitstu li utammima makarim al-akhlaq” (sesungguhnya
aku diutus hanyalah untuk menyempurnakan berbagai penyimpangan akhlak).
Antara apa yang
ditegaskan Nabi dengan bagaimana prakteknya dalam kehidupan banyak umat muslim tertentu,
tuntutan untuk hidup berakhlak selalu didengungkan dalam berbagai kesempatan
(khotbah jumatan, dakwah dan pengajian).
Konsep tentang
akhlak sebagai citra, jati diri atau budi pekerti, dapat ditelusur secara
etimologis kepada asal makna perkataan akhlaq itu sendiri yang merupakan bentuk
jamak perkataan khulq. Kata ini satu
akar dengan kata-kata Khaliq
(Pencipta, yakni Tuhan) dan makhluq
(yang diciptakan, yakni segala sesuatu selain Tuhan), khulq dan akhlaq mengacu
kepada konsep tentang “ciptaan” atau “kejadian” manusia.
Baik buruknya
akhlak seseorang mengacu kepada dirinya sebagaimana diciptakan atau dijadikan
(lingkungan dari mana seseorang berasal). Akhlak seseorang juga dipengaruhi
perkembangan pribadi, pengalaman, dan pendidikannya. Namun kebiasaan yang
dibentuk dan nantinya melekat pada seseorang sehingga dapat dipandang sebagai
hal “alami” pada seseorang tersebut (habit
is second nature).
Pada dasarnya,
akhlak seseorang ialah tingkah laku yang konstan, sebab di situlah letak “kesejatian”
dirinya. Karena itu salah satu implikasi keagamaan seseorang adalah tindak
lakunya yang mencerminkan punya moral atau etika.
Lantas,
apakah seseorang yang melakukan tindakan korupsi menunjukkan bahwa akhlaknya
berubah, dan “kesejatian” dirinya tercampak? Gunnar Myrdal, ekonom Swedia
menyebut negeri kita ke dalam kelompok negara-negara lunak. Nyatanya, segala aspek
terkesan tak ada nyali. Di ranah hukum mandul, pisau hukum hanya tajam bagi
rakyat kecil tapi tumpul bagi orang berduit.
Dalam “negara
lunak” disebutkan Myrdal tidak adanya disiplin sosial, yaitu terjadinya
kesewenangan yang bisa ataua malah memang sengaja disalahgunakan untuk
kepentingan pribadi oleh orang-orang yang mempunyai kekuatan ekonomi, sosial dan
politik. Dengan sendirinya terbuka lebar kesempatan untuk melakukan
penyalahgunaan dalam ukuran besar bagi kalangan atas. Bahkan orang dari anak
tangga paling bawah pun punya peluang untuk melakukannya, contoh dalam hal ini
Gayus Halomoan Tambunan, pegawai rendahan tapi bisa mengorup duit negara dalam
jumlah yang pantastis.
Maka ditegaskan
oleh Myrdal bahwa corruption is
fundamentally nothing but one specific manifestation of the soft state. Bergandengan
dengan masalah korupsi, Myrdal berkata “sementara di satu pihak di
negeri-negeri berkembang terbukti sulit untuk mengintroduksi motif-motif
keuntungan yang rasional dan tingkah laku pasar ke dalam sektor kehidupan.
Hanya orang-orang
yang istikomah berpegang teguh pada Tali Allah dan mencintai Rasulullah SAW
yang senantiasa berjuang meraih derajat
akhlaqul karimah, lalu menjunjungnya tinggi-tinggi agar meraih posisi sebagai insan
kamil.
Wallahu ‘alam
bish showab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.