Sabtu, 23 Maret 2013

Mulutmu, Celakamu


Kesadaran adalah matahari, kesabaran adalah bumi,
dan perjuangan adalah pelaksanaan kata-kata
WS. Rendra
*******
Dua hari lalu sepulang kantor istri saya cerita bahwa teman kerjanya diciduk aparat lantaran dilaporkan tetangganya. Tiap pagi kalau mengantar istri sampai gerbang kantornya, saya berpapasan dengan sosok orang yang diceritakan.
Apa pasal sampai dilaporkan tetangga, istri saya tak tahu persis. Tapi, konon orang ini pagi-pagi sesampai di kantor langsung ngerumpiin tetangganya. Hampir tiap hari ada cerita baru tentang tetangganya. Istilah jejaring sosial tuh selalu up date berita. Entahlah apakah ceritanya tranding topic apa nggak.
Sejatinya, apa yang mulut katakan adalah atas kendali otak. Berarti mulut saya, otak saya. Mulut kamu, otak kamu. Mulut kita, otak kita. Tapi, adakalanya si mulut ini nyablak tanpa dikendalikan terlebih dahulu oleh otak, baru kemudian memberi input ke otak. Oleh otak kemudian disimpan menjadi file program apa yang telah mulut katakan. Dalam hal ini mulut menemukan kesadarannya sendiri, bebas dari rasa ragu untuk mengatakannya. Terabailah hubungan antara kesadaran dan otak. Kalau tak pandai menjaga mulut dan omongan menyakiti tetangga, bila berbuntut perkara di ranah hukum, celakalah akibatnya. Mulutmu, Celakamu.
Para ahli neuroscience mencoba menemukan keterkaitan antara kesadaran (wakefulness), otak (mind) dan diri (self). Ternyata ketiganya tak selalu ada hubungan satu arah, misalnya kesadaran memengaruhi otak, otak memengaruhi persepsi diri. Hubungan yang terjadi bisa saling silang, misalnya otak memengaruhi kesadaran, persepsi diri memengaruhi kerja otak.
Hidup bertetangga memang rentan terjadinya friksi. Kalau tidak mengedepankan kesadaran dan otak, persoalan sepele akan menyulut emosi mengupak amarah yang akhirnya terjadi percekcokan, si mulut ngomong di luar batas nalar.
Rasulullah SAW bersabda:
خَيْرُ الْأَصْحَابِ عِنْدَ اللهِ خَيْرُهُمْ لصَاحِبِهِ وَخَيْرُ الْجِيْرَانِ عِنْدَ اللهِ خَيْرُهُمْ لِجَارِهِ
 “Sebaik-baik sahabat di sisi Allah adalah mereka yang terbaik kepada sahabatnya dan sebaik-baik tetangga di sisi Allah adalah mereka yang terbaik pada tetangganya.” (HR. Tirmidzi).
Begitu penting dan mulianya tetangga, Islam datang mengajarkan adab-adab bertetangga. Allah SWT berfirman:
“Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapak, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, teman sejawat, ibnu sabil, dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri.” (An-Nisa’ : 36).
Bagaimana Berbuat dan Berakhlak Baik pada Tetangga?
Pertama: Bersabar, menahan diri dari segala bentuk kezaliman dan perkara yang mendatangkan mudarat kepada tetangga.
Sabda Rasulullah SAW:
مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمَ الْآخِرْ فَلَا يُؤْذِ جَارَهُ
“Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir maka janganlah dia sakiti tetangganya.”
Bersabar dalam menghadapi gangguan tetangga, atau memilih pindah rumah jika memang hal itu memungkinkan. Allah berfirman: “Dan tidaklah sama kebaikan dengan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang antara kamu dan dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia.” (QS Fushshilat: 34).
Jika tidak mampu bersabar menghadapi gangguan tetangga, sementara kita tidak mungkin pindah rumah, maka coba kita terapkan nasihat Rasulullah berikut ini:
“Seorang laki-laki pernah datang kepada Nabi mengeluhkan tetangganya. Maka Rasulullah menasehatinya, ”Pulanglah dan bersabarlah!” Lelaki itu kemudian mendatangi Nabi lagi sampai dua atau tiga kali, maka Beliau bersabda padanya, “Pulanglah dan lemparkanlah barang-barangmu ke jalan!” Maka lelaki itu pun melemparkan barang-barangnya ke jalan, sehingga orang-orang bertanya kepadanya, ia pun menceritakan keadaannya kepada mereka. Maka orang-orang pun melaknat tetangganya itu. Hingga tetangganya itu mendatanginya dan berkata, “Kembalikanlah barang-barangmu, engkau tidak akan melihat lagi sesuatu yang tidak engkau sukai dariku.” (HR Bukhari)
Kedua: Berbuat baik dan menempuh segala sebab syar’i yang mendatangkan kebaikan bagi tetangga.
Membalas kejahatan tetangga dengan perbuatan baik merupakan salah satu etika bertetangga yang diajarkan Islam. Nabi SAW bersabda, “Tiga golongan yang dicintai Allah… dan laki-laki yang memiliki tetangga yang menyakitinya, kemudian ia bersabar menghadapi gangguannya hingga ajal memisahkan mereka.” (HR Imam Ahmad).
Rasulullah SAW mengabarkan bahwa menyakiti tetangga adalah sebab terjerumusnya seseorang dalam neraka meskipun dia adalah ahli ibadah. Abu Hurairah ra berkata:
قِيْلَ لِلنَّبِيِّ n: يَا رَسُولَ اللهِ إِنَّ فُلاَنَةَ تَقُومُ اللَّيْلَ وَتَصُومُ النَّهَارَ وَتَفْعَلُ وَتَصَدَّقُ وَتُؤْذِي جِيْرَانَهَا بِلِسَانِهَا. فَقَالَ رَسُولُ اللهِ : لاَ خَيْرَ فِيْهَا، هِيَ مِنْ أَهْلِ النَّارِ
Dikatakan kepada Nabi: “Wahai Rasulullah sesungguhnya fulanah senantiasa melakukan shalat malam, berpuasa di siang hari, banyak beribadah dan bersedekah, tetapi dia selalu menyakiti tetangganya dengan lisannya.” Maka Rasulullah n bersabda: “Tidak ada kebaikan pada dirinya, dia termasuk penghuni neraka.”
Bahkan dalam sabda yang lain Rasulullah SAW meniadakan keimanan dari orang yang berbuat zalim kepada tetangganya. Abu Syuraihz meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW bersabda:
وَاللهِ لاَ يُؤْمِنُ، وَاللهِ لاَ يُؤْمِنُ، وَاللهِ لاَ يُؤْمِنُ. قِيْلَ: وَمَنْ يَا رَسُولَ اللهِ؟ قَالَ: الَّذِي لاَ يَأْمَنُ جَارُهُ بَوَائِقَهُ
“Demi Allah tidak beriman, demi Allah tidak beriman, demi Allah tidak beriman!” Rasul ditanya: “Siapa wahai Rasulullah?” Beliau bersabda: “Seseorang yang tetangganya tidak merasa aman dari keburukannya.”
Asy-Syaikh Abdul Muhsin Al-’Abbad hafizhahullah berkata: “Hak tetangga adalah hak-hak yang sangat ditekankan atas tetangganya. Hadits-hadits telah datang begitu banyak, memberi dorongan untuk memuliakan tetangga sekaligus mengancam dari menyakiti tetangga atau menimpakan kemudaratan kepadanya… Memuliakan tetangga terwujud dengan menyampaikan kebaikan kepada mereka dan selamatnya mereka dari kejelekannya.” (diringkas dari risalah Fathu Al-Qawiyyil Matin Fi Syarhil Arba’in Wa Tatimmatil Khamsin, hal. 62-63).
Referensi:
-   Politik Otak, Politik Tubuh; OLEH BRE REDANA dalam Rubrik UDAR-RASA, Kompas, Minggu, 3 Maret 2013.
- http://www.republika.co.id/dunia-islam/islam-digest/11/05/13/ll4yop-hidup-bertetangga-ala-rasulullah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.