Alkisah seorang pemuda yang usianya sudah
kepala 3 mendatangi guru spiritual di suatu lembah. Tujuannya ingin menggali
pemahaman tentang arti cinta sesungguhnya, yang sampai usianya berkepala 3
belum juga ditemukannya. Menempuh perjalanan yang jauh, sampailah dia di lembah
yang hijau dan begitu meneduhkan. Seketika perasaannya disergap kenyamanan akan
suasana di lembah itu.
Setelah bertemu sang guru dan mengemukakan
maksud tujuannya datang ke sana, si pemuda diberi wejangan awal, yang intinya
ada syarat-syarat tertentu yang harus dijunjung oleh siapa pun yang berguru
kepadanya. Si pemuda sepakat untuk mengikuti aturan yang berlaku dan sanggup
menjunjung tinggi persyaratan dimaksud. Oleh guru dia dikenalkan dengan
orang-orang yang juga punya maksud dan tujuan
sama dengannya. Ada belasan pemuda dan pemudi yang tampak
ganteng-ganteng dan cantik-cantik meski menampakkan cahaya usia yang beranjak
menua.
Semua yang berguru di situ oleh sang guru
dibuka kesempatan untuk saling mengenal lebih dekat, tujuannya siapa tahu
antara satu sama lain saling tertarik untuk menjalin cinta dan berjodoh.
Sesi pengajaran yang harus ditempuh para pemuda
dan pemudi di padepokan itu adalah selama 4 bulan. Materi ajar yang disiapkan
guru untuk disimak baik-baik oleh para pemuda dan pemudi itu tentang
pengendapan rohani, untuk menemukan makna cinta sejati.
Baru mengikuti pelajaran 1 bulan si pemuda tadi
sudah tak tahan, mulai gelisah dan merasa tak nyaman di padepokan itu. Tak satu
pun pemudi yang berguru di situ menarik hatinya untuk dikenal lebih dekat. Dia
ingin segera menyelesaikan sesi pengajaran dan pergi meneruskan pencariannya di
tempat lain.
“Baiklah anak muda, ikuti pelajaran 1 bulan
lagi baru kamu akan saya uji,” kata sang guru. Dengan berat hati si pemuda
bertahan, pikirnya kali saja ada pelajaran akhir yang akan membawa pencerahan
padanya tentang hakikat cinta sejati yang bertahun-tahun dicarinya sampai
usianya beranjak menua dan baru dia sadari.
Sadar usia menua namun jodoh yang dicari sesuai
kriteria belum juga didapat, mendorongnya untuk “pulang” ke bilik rohani yang
lama ditinggalkannya. Ditujunyalah padepokan di tempat sang guru mengajarkan pencerahan,
yang diketahuinya dari banyak cerita telah berhasil membantu orang-orang yang
berguru menemukan jodoh seketika kembali dari padepokan itu.
Sahdan, di akhir bulan ke 2, bersamaan dengan
“murid” sang guru lainnya menempuh UTS (Ujian Tengah Sesi). Si pemuda diajak
sang guru menelusuri lembah. Oleh sang guru si pemuda diberi tugas mencari
putik kembang yang paling indah menurut hati nuraninya. Si pemuda pun berjalan
dan terus berjalan menyusuri hamparan lembah yang sejauh mata memandang
menampakkan putik-putik kembang aneka rupa dan warna yang semuanya indah.
“Pergilah cari yang menurut kamu kembang paling
indah, kalau sudah ketemu bawa ke mari dan serahkan kepada saya,” kata sang
guru sambil menunjuk ke arah sebuah bale
bengong di tengah hamparan kembang, saya tunggu di situ.
Si pemuda pun berjalan menyusuri hamparan
kembang, dari putik satu ke putik lain dilihatnya kembang-kembang itu indah
semua. Sehingga tak ada yang dipetiknya dengan asumsi mungkin ada yang lebih
indah, dan dia pun meneruskan pencariannya hingga akhirnya hari mulai gelap
karena malam akan segera tiba. Di tengah kebingungan putik mana yang akan
dipetik untuk diserahkan kepada sang guru, dia teruskan juga berjalan meski
hari semakin gelap.
Rasa tanggung jawab yang mengharuskannya
menemukan kembang yang paling indah seperti ditugaskan sang guru. Akhirnya di
tengah keremangan alam menuju gelap, penglihatannya tertumbuk pada seputik
kembang yang nampak indah karena tersamar semburat cahaya matahari yang akan
tenggelam. Kembang itulah yang dia petik dan diserahkannya kepada sang guru.
Setelah menerima seputik kembang yang
diserahkan si pemuda, guru itu memperhatikannya dengan seksama. Lalu berkata;
“Tak ada yang spesial dari kembang yang kamu petik ini.” Pemuda itu pun
mengakui bahwa banyak kembang indah-indah yang dijumpainya di tengah
perjalanan, namun dia berpikir masih ada yang lebih indah sehingga tak satu pun
kembang itu dipetiknya dengan harapan akan menemukan yang paling indah bila
terus berjalan mencari. Hingga akhirnya gelap pun mengadangnya.
Sang guru pun tersenyum dan berkata bahwa itulah yang terjadi dalam kehidupan nyata yang kamu jalani. ”Putik kembang tak obahnya bagai gadis-gadis yang kamu temui. Banyak yang cantik tapi pikiranmu berpendapat masih ada yang lebih cantik. Sehingga kamu pun terus mencari yang paling cantik itu, namun susah kamu temukan hingga akhirnya usiamu beranjak tua. Hamparan kembang yang kamu susuri tak obahnya bagai perputaran waktu yang silih berganti dari siang ke malam dan siang kembali, Jadi, dalam kehidupan nyatamu telah terjadi apa yang kamu lakukan hanyalah menghabiskan waktu secara sia-sia. Mengharapkan yang terbaik, tapi yang kamu harapkan tak kesampaian. Waktu terbuang percuma, sedangkan waktu takkan berputar kembali ke masa lalu, sehingga kamu bisa mengulang kehidupan dari awal lagi.”
Sang guru pun tersenyum dan berkata bahwa itulah yang terjadi dalam kehidupan nyata yang kamu jalani. ”Putik kembang tak obahnya bagai gadis-gadis yang kamu temui. Banyak yang cantik tapi pikiranmu berpendapat masih ada yang lebih cantik. Sehingga kamu pun terus mencari yang paling cantik itu, namun susah kamu temukan hingga akhirnya usiamu beranjak tua. Hamparan kembang yang kamu susuri tak obahnya bagai perputaran waktu yang silih berganti dari siang ke malam dan siang kembali, Jadi, dalam kehidupan nyatamu telah terjadi apa yang kamu lakukan hanyalah menghabiskan waktu secara sia-sia. Mengharapkan yang terbaik, tapi yang kamu harapkan tak kesampaian. Waktu terbuang percuma, sedangkan waktu takkan berputar kembali ke masa lalu, sehingga kamu bisa mengulang kehidupan dari awal lagi.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.