Jumat, 10 Juni 2016

Muhammad Ali

Petinju legendaries Muhammad Ali meninggal dunia hari Jumat (3/6/2016), tiga hari menjelang tibanya bulan Ramadan, bulan penuh berkah, maghfiroh, dan pembebasan dari api neraka bagi yang menunaikan puasa imanan (dilandasi keimanan) wahtisaban (semata-mata mengharap ridlo Alloh Swt).
Peti Jenazah Muhammad Ali didorong menuju tempat disalatkannya

Sahdan, meninggal di hari Jumat, disebut sebagai salah satu dari tanda husnul khotimah. Ganjarannya adalah dibebaskan dari siksa kubur.
Jenazah Muhammad Ali siap untuk disalatkan

Ali baru dimakamkan seminggu kemudian dari hari meninggalnya. Hal ini menimbulkan pertanyaan banyak pihak, mengingat Ali sebagai seorang muslim dan dalam ajaran Islam orang yang meninggal sebaiknya segera dimakamkan setelah dinyatakan meninggal dunia.

Alasan mengapa Ali baru dimakamkan sepekan kemudian, menurut pemberitaan BBC, Selasa (7/6/2016). Disebutkan prosesi jenazah dan pemakaman Muhammad Ali akan dilangsungkan dalam sebuah upacara besar antariman namun dalam tradisi Islam hari Jumat (10/6/2016). ”Hal ini dimaksudkan untuk memungkinkan siapapun dari seluruh dunia untuk mengucapkan selamat tinggal,” papar pernyataan keluarganya.

Antar iman ini maksudnya, selain disalatkan secara Islam sesuai agama yang dianut Muhammad Ali. Juga ada prosesi pemanjatan doa oleh empat imam dari empat agama, yaitu Islam, Yahudi, Kristen, dan aliran kepercayaan suku asli American Indian.

Ada 17 iring-iringan kendaraan yang mengawal mobil jenazah yang mengantarkan almarhum Muhammad Ali ke tempat pemakamannya di Cave Hill di kota kelahirannya tahun 1942 di Louisville, Kentucky.
Kendaraan yang membawa peti jenazah Muhammad Ali berjalan paling depan dari iring-iringan 17 kendaraan lainnya.

Sepanjang jalan yang dilalui, sejak dari Kentucky (tempat Ali dilahirkan) dan di mana dia tumbuh besar dan bermain, kerumunan warga memberikan penghormatan terakhir, dengan meneriakkan namanya dan melemparkan bunga ke arah mobil jenazah.
Muhammad Ali sangat dicintai fansnya, di mana dia berada selalu dielu-elukan namanya... Ali, Ali, Ali...

Konon, 14 ribu tiket terjual untuk prosesi pemakaman Ali.
Tiket Jenazah Prayer Service pada pemakaman Muhammad Ali

Yang istimewa adalah ada acara nobar (nonton bareng). Ini untuk pertama kalinya di dunia dalam hal pemakaman. Sebab, umumnya nobar dihelat dalam hal, misalnya, pertandingan bola atau balap mobil/motor.

Sosok Ali adalah orang tua yang mencintai anak-anak. Tidak hanya anak kandungnya, tapi juga anak-anak pada umumnya.
Muhammad Ali begitu sayang terhadap anak-anaknya

Karena besarnya cintanya pada anak-anak dan perhatiannya pada perdamaian, tidak aneh manakala Ali meninggal, cinta dan perhatian itu tercurah dari warga masyarakat Amerika, apa pun warna kulit dan agama (keyakinannya), yang antusias memberikan penghormatan terakhir baginya.

Rabu, 11 Mei 2016

Masih Ada Polisi yang Baik


Senin (9/5), di ujung limit waktu pembayaran pajak motor yang jatuh tempo tanggal 10 Mei, saya ajukan hasik cek fisik yang dilakukan anak saya Abi di Solo, ke loket pengesahan cek fisik. Ada dua anggota polisi yang bertugas di dalam loket. Melihat kejanggalan yang ada di form hasil cek fisik tersebut. Di mana pada kolom-kolom yang seharusnya dicontrengi oleh petugas yang melakukan cek fisik, itu saya sendiri yang mencontrengi dan sekaligus membubuhkan paraf di sudut kiri bawah. Kontan salah satu dari kedua polisi jaga itu bertanya, ”Cek fisik di mana ini, Pak?” Langsung saja saya jawab, ”Di Jawa, Pak” sembari menambahkan ”Itu motor tanggung waktunya kalau mau dipulangkan ke Lampung, sebab anak saya sedang menyelesaikan Tugas Akhir (Skripsi). Jadi, saya pikir jalan tengah yang bisa ditempuh yaitu saya suruh anak saya yang menggesek nomor rangka dan nomor mesinnya. Itulah hasilnya.”

”Ini yang nandatangan siapa,” tanyanya lagi. ”Saya sendiri,” jawab saya sembari membayangkan bakal terjadi kegagalan total dalam upaya yang sebenarnya jalan yang ditempuh memang benar tapi di luar standar aturan baku.
inilah form hasil cek fisik yang saya contrengi dan paraf sendiri

”Ya, sudah tunggu dulu di sana,” perintah mereka. Saya pun menurut dan beringsut menunju kursi tunggu di samping loket dekat ruang fotokopi. Menunggu dengan sabar, apa pun yang akan terjadi. Tapi, di benak saya terlintas sosok anggota polisi, dia tetangga yang juga biasa jamaah bareng di masjid dalam ritual salat Maghrib, Isya dan Subuh. Pikir saya, kalau dua polisi yang bertugas di dalam loket mempersulit dan ogah mengesahkan hasil gesekan cek fisik yang sudah benar tapi di luar standar prosedur tersebut, terpaksa harus minta bantuan tetangga anggota polisi yang tadinya juga biasa bertugas di bagian pelayanan di dalam gedung Samsat, tapi sudah dipindah ke Ditlantas di seberang Samsat.
   
Menegakkan Kejujuran itu Memang Berat

Modal Bismillah dan kejujuran. Itulah yang saya lakukan hari itu. Terus terang, saya menyadari akan menemukan kesulitan. Karenanya, hanya dengan bismillah saya jalankan upaya menyelesaikan kewajiban kepada negara untuk menjadi warga negara yang taat membayar pajak. Dan, ketaatan lain yang harus saya upayakan menjalankannya, adalah menegakkan kejujuran. Sepotong ucapan pun tak mau saya palsukan di depan petugas loket. Karenanya, ketika polisi itu tanya cek fisik di mana, saya jawab dengan jujur. Begitu juga ketika ditanyakan siapa yang nandatangan, juga saya jawab jujur.

Landasan untuk menegakkan kejujuran itu sesuai tuntunan Rasulullah Saw. Sabda beliau; Sesungguhnya dusta mengantarkan kepada kefajiran, dan kefajiran mengantarkan kepada neraka. (HR. Bukhari nomor 6094 & Muslim nomor 2607).

Alhamdulillah, sesudah menunggu beberapa saat, akhirnya nama saya dipanggil dan mereka sodorkan berkas pengurusan pembayaran pajak motor. Saya lihat form hasil cek fisik sudah dilegalisasi dan dibubuhi paraf berikut stempel. Setelah menghaturkan ucapan terima kasih kepada kedua anggota polisi yang baik hati itu, saya bergegas ke gedung Samsat. Setelah dikasih map dan dirapikan kembali berkasnya, kemudian disuruh ke gudang arsip. Akhirnya, harus menunggu hampir satu jam untuk verifikasi berkas. Setelah memberikan ’uang kopi’ sesuai permintaan ’seikhlasnya’ saya disuruh ke loket BRI untuk bayar biaya plat nomor dan STNK sebesar Rp80.000. Sebenarnya yang dimintai uang kopi itu orang yang dilayani sebelum saya, tapi karena saya juga menikmati pelayanan yang baik, jadi saya pun ikut memberikan sekedar untuk mereka bisa ngopi ngudut. 
seperti ini suasana kerumunan pengantre pelayanan di depan pintu gudang arsip

Jangan heran, selalu begitu suasana antre di negeri tercinta ini, mengerumun tak beraturan. Tak bisa sepenuhnya disalahkan, sebab kondisinya memang menuntut untuk lebih dekat ke pintu. Alasannya, suara panggilan petugas alakadarnya, karena tak didukung pengeras suara (megaphone) sekelas TOA. Jadinya, nama orang yang disebut dalam panggilan hanya terdengar sayup sampai. 

Dari sela kerumunan massa, dengan jelas telinga saya menangkap celetukan seorang bapak paruh baya. Begini katanya; mestinya pake pengeras suara, masa nggak bisa ngadain sih, paraaah... Namun, beruntung ada lagi orang baik hati selain dua anggota polisi yang tidak saya cermati siapa nama dan apa pangkatnya, di dalam loket tempat legalisasi hasil cek fisik tadi.

Di dekat pintu gudang arsip, persis berdiri seorang ibu berseragam Pemkot (itu lho yang berkerudung warna kuning), dengan kemauan sendiri ibu itu menyebut ulang nama sesiapa yang dipanggil. Tapi, lama-lama terkesan tidak tulus, karena orang-orang yang dipanggil tidak menghargai bantuannya, misalnya dengan menjawab ya, saya, atau siap 86 gitu.... Apa yang salah di masyarakat, ekspektasi begitu mahal harganya.

Akhirnya, karena ketulusannya kurang atau tidak direspon dengan baik, si ibu itu nyeletuk begini; ai, sudahlah, gak usah dibantu, orang yang dipanggil diam aja... Meskipun akhirnya toh masih juga dilanjutkannya menyebut ulang nama orang yang dipanggil. Dalam hati saya berujar; bisa jadi ibu itu di Pemkot pekerjaannya biasa melayani. Jadi, apa yang dia lakukan itu naluriah. Kan kasihan juga kalau dilewatkan oleh Pak Polisi yang manggil dari dalam, padahal sudah ngantre lama.

Proses yang saya jalani dilanjutkan ke loket 1A, berkas diajukan ke bagian print out STNK baru, disuruh menunggu untuk saatnya nanti dipanggil dan disuruh bayar pajak di loket Bank Lampung, untuk kemudian kembali masih harus menunggu panggilan ketika STNK baru sudah selesai sekaligus menandai semua urusan klar alias beres dan bisa pulang. 

Sambil beranjak dari tempat parkir untuk pulang setelah semua proses dapat selesai dengan baik, saya berujar lirih dalam hati, masih ada polisi yang baik. Karena, pada dasarnya yang berperilaku tidak baik adalah oknum. Alhamdulillah, saya semakin dicerahkan ketika bertemu orang-orang baik, seperti dua anggota polisi di loket cek fisik dan ibu PNS Pemkot itu.

Ketika istri yang sedang dalam perjalanan dari liburan ke Jawa nge-SMS menanyakan apakah proses STNK sudah selesai, saya balas SMS-nya dengan menulis Alhamdulillah ada polisi yang baik hati, semoga mereka dimuliakan Alloh, hampir aja mati pajak” Istri membalas ”Alhamdulillah mg Alloh membalas kebaikannya” Aamiin Ya Rabbal alamin.
               

Sabtu, 26 Maret 2016

Mengenang Robert Koch

Tiap tanggal 24 Maret, dunia Tuberkolosis (TBC) memperingati ulang tahun ditemukannya basil TBC. Berarti juga mengingatkan peristiwa ketika Robert Koch menyampaikan ceramah di hadapan kelompok kecil cendekiawan di Institute of Hygiene, Universitas Berlin, dengan judul "Die Aetiologie der Tubercolose" (sebab-sebab/asal usul tuberkolosis).
Robert Koch
Sebelum ceramah perihal penyakit TBC, pada tahun 1876, sebagai seorang dokter umum di Wollstein, Polandia, Koch telah menjelaskan perjalanan penyakit Anthrax (penyakit yang disebabkan oleh Bacillus anthracis, terutama pada binatang), membuat biakan dan menimbulkan spora-spora berkembang dan menyebar.
Pada waktu itu TBC tidak saja merupakan penyakit rakyat di Eropa, tetapi juga masih merupakan "dunia yang gelap" bagi ilmu kedokteran. Sebagian teori mengatakan, bahwa TBC adalah suatu pertumbuhan tubuh hang abnormal (neoplastic). Teori-teori ini secara tiba-tiba berubah, ketika Robert Koch berpendapat, bahwa penyebab penyakit ini dapat ditunjukkan dengan pemeriksaan kultur (biakan) dan bahkan percobaan binatang.
Robert Koch melakukan penelitian hanya delapan bulan, namun cukup lengkap dan komprehensif. Atas prestasinya dalam penelitian itu, pada tahun 1905 dia memenangkan hadiah Nobel untuk kedokteran.
Hasil penelitian Robert Koch itu kemudian menjadi landasan bagi Calmette dan Guerin untuk melakukan riset, yang kemudian menemukan vaksin BCG (Bacillus Calmette Guerin) yaitu vaksin untuk mencegah TBC pada tahun 1921.
Sejarah TBC kemudian berkembang dengan cepat dan mengubah anggapan-anggapan lama serta menumbuhkan konsep-konsep baru dalam mengatasi penyakit ini. Pada tahun 1895, Rontgent menemukan sinar X di Vienna. Untuk pertama kali kelainan dalam paru-paru oleh TBC dapat diketahui dengan alat tersebut, meskipun diagnostik yang pasti dari TBC tetap memerlukan konfirmasi pemeriksaan mikroskop untuk menemukan basil TBC.
Pada tahun 1944, untuk pertama kalinya antibiotika yang efektif ditemukan, yaitu streptomycine oleh Selman AA. Waksman di Amerika yang kemudian menerima hadiah Nobel pada tahun 1952. Obat-obat anti TBC yang murah dan efektif baru ditemukan tahun 1946-1953, ketika INH (Isoniazif) dan PAS (Para Amino Salycitic Acid) ditemukan. Menyusul kemudian Rifampicin (1966) dll.
Dengan demikian dewasa ini kita sudah memiliki alat-alat pencegahan, pengobatan dan diagnostik yang lengkap bagi TBC. Tetapi, sejak basil TBC ditemukan pada 24 Maret 1882 (lebih dari 100 tahun lalu), jumlah penderita  TBC justru terus meningkat. Padahal, semestinya dengan ditemukannya obat-obat anti TBC dan vaksin BCG, penyembuhan penderita TBC bisa lebih cepat. Faktanya sangat lamban dan bahkan cenderung tak berhasil tuntas. Salahnya di mana? Mungkin pada lemahnya kedisiplinan penderita dalam mengonsumsi obat secara tetatur dan tanpa putus, serta abainya keluarga dan lingkungannya dalam mengawasi.
Jadi, mari belajar berdisiplin. "Defeat TB, now and forever."

Senin, 15 Februari 2016

1000 Fenomena Edisi 10

Bupati Pacitan Indartato ini saya jadikan topik bahasan untuk postingan kali ini. Latar belakang dirinya yang kurang beruntung, cukup fenomenal. Dari Sopir Bupati bisa menjadi Bupati. Sabtu (13/02/2016) lalu Indartato dihadirkan sebagai bintang tamu acara Kick Andy di Metro TV, di sana terkuak cerita yang cukup menggugah tentang latar belakang dirinya yang begitu fenomenal.


Drs H Indartato MM
Masa kecilnya sebagai anak pamong praja membuat sosok kelahiran Ponorogo, 27 September 1954 terbentuk menjadi sosok sederhana. Penghasilan orang tuanya yang terakhir memegang jabatan wedono atau pembantu bupati relatif pas-pasan kala itu. Akibatnya, Indartato muda harus menahan keinginannya untuk melanjutkan pendidikan ke bangku kuliah.

Selain dikenal lugas, putra pasangan Sudarmanto – Kasiati ini juga tidak muluk-muluk. Cita-citanya pun hanya ingin menjadi sopir. Keinginan itu bukan tanpa alasan. Di mata Indartato muda yang tinggal di Kecamatan Ngadirojo, Pacitan, profesi sopir merupakan simbol kemakmuran. Di saat kebanyakan orang baru bisa menikmati nasi thiwul (nasi berbahan baku ketela, red) sebagai santapan sehari-hari, para sopir sudah bisa menyantap nasi beras di warung.

”Dari waktu kecil saya jarang makan enak. Teman-teman bisa makan nasi putih keluarga saya makan tiwul. Itupun masih harus dibagi dan makannya bersama-sama,” ungkap Indartato, saat ditemui di rumahnya, Selasa (21/12/2010).

Dorongan itu yang membuat Indartato memberanikan diri belajar mengemudi. Atas jasa tetangganya yang memiliki kendaraan angkutan jenis pick up, Indartato belajar menguasai kendaraan hingga akhirnya berhasil memperoleh Surat Ijin Mengemudi. Bermodal keterampilan itu, dia lalu mencoba mengadu nasib dengan melamar pekerjaan di Pemkab Pacitan.

Pak In membentangkan tangan di depan Seruling Samudra Pantai Kalayar
Rupanya, nasib baik memang berpihak padanya. Berbekal ijazah SMA, pada tahun 1975 Indartato diterima bekerja menjadi tenaga harian. Setahun kemudian, posisinya dinaikkan setingkat lebih tinggi menjadi tenaga harian tetap dengan posisi baru sebagai sopir bupati yang saat itu dijabat Mohammad Kusnan. Sejak saat itulah karier Indartato terus merangkak naik. Tahun 1978 Bupati Kusnan memberinya kesempatan tugas belajar ke Akademi Pendidikan Dalam Negeri (APDN).

Indartato mengawali kariernya pada jabatan struktural sebagai Camat Pringkuku pada tahun 1984. Saat itu usianya baru 30 tahun, usia termuda untuk seorang camat. Karena tuntutan jabatan, posisinya terus berpindah-pindah dari satu instansi ke instansi yang lain. Terakhir, bapak 3 anak, hasil perkawinannya dengan Luki Tri Baskoro Wati memangku jabatan Kepala Dinas Perikanan dan Kelautan hingga pensiun tahun 2010.

Seperti diketahui, hasil sementara penghitungan cepat versi Tim Koordinasi Dukungan Penyelenggaraan Pemilukada Pacitan menunjukkan, pasangan Indartato – Prayitno yang diusung partai Demokrat, PKS, PPP dan Partai Hanura meraup 186.590 suara atau (65,48 persen) dari total suara sah sebanyak 284.967. Jika hasil rekapitulasi manual oleh KPU tanggal 26 Desember mendatang memberikan hasil yang sama, Indartato akan memikul tanggung jawab besar, mengemudikan kendaraan besar bernama Pemerintah Kabupaten Pacitan.

”Yang penting, jadi sopir itu penumpangnya harus bisa tidur nyenyak. Artinya tidak ada rasa khawatir, rewel apalagi mabuk,” pungkasnya berfislosofi.

BIODATA INDARTATO
Tempat Tanggal Lahir:
Ponorogo, 27-9-1954
Alamat : Jl. Yos Sudarso 10 Kec/Kab. Pacitan
Jenis Kelamin : Laki-Laki
Agama : Islam
Status Perkawinan : Kawin
Keluarga:
Istri : Luki Tri Baskorowati
Anak : 1. Eko Prasetyo Wahyudiarto, 2. Yanu Prasetyawan, 3. Asri Rizekiana

RIWAYAT PENDIDIKAN:
SD : SD Negeri Tulakan (lulus tahun 1967)
SMP : SMP Negeri Lorok (Lulus tahun 1970)
SMA : SMA Negeri Pacitan (Lulus tahun 1973)
Diploma : APDN (Lulus tahun 1981)
SI : Universitas Muhammadiyah Malang
(Lulus tahun 1989)
S2 : STIE Mitra Indonesia Yogyakarta (Lulus tahun 2000)

RIWAYAT PEKERJAAN/JABATAN:
1. Staf Sekretaris Pemda Kabupaten Pacitan (1976-1978)
2. Tugas Belajar APDN (1978-1981)
3. Mantri Pol PP Kecamatan Punung (1982-1984)
4. Camat Pringkuku (1984-1988)
5. Camat Arjosari (1988-1991)
6. Plh. Kabag Pembangunan (1990-1991)
7. Kabag Perekonomian (1991-1992)
8. Kabag Pembangunan/Penyusun Program (1992-1997)
9. Kepala DInas Pendapatan (1997-2002)
10. Kepala BAPPEDA (2003-2006)
11. Kepala Diperindag, Sumberdaya Energi (2006-2007)
12. Kepala Balitbang (2007-2008)
13. Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan (2008-2010)
14. Purna Tugas/Pensiun (1 Oktober 2010)
15. Bupati Pacitan (periode 2011-2016)
16. Bupati Pacitan (periode 2016-2021) – terpilih lagi pada Pemilukada serentak 9 Desember 2015 lalu.

RIWAYAT ORGANISASI:
1. Sekretaris Komcat Golkar Kecamatan Punung (1982-1984)
2. Ketua Unit Korpri Kecamatan Pringkuku (1984-1988)
3. Ketua Unit Korpri Kecamatan Arjosari (1988-1991)
4. Pengurus Korpri Kabupaten Pacitan (Sekarang)
5. Wakil Ketua HKTI Kabupaten Pacitan (1988-2000)
6. Bendahara DPP Partai Golkar Pacitan (1993-1997)
7. Ketua DPC Partai Demokrat Pacitan (Sekarang)
8. Pengurus Kwarcab Pramuka Kab. Pacitan (2004- )
9. Ketua IKAPTK Propinsi Jawa Tumur (2012- )
10. Ketua Yayasan K.W.C (2006 – )

Senin, 25 Januari 2016

Isyarat Kematian 2

Hari ini, Senin, 25 Januari, tepat 30 hari kepulangan Abuya HMI ke Haribaan Ilahi Rabbi. Kepergiannya di malam seusai siangnya memimpin Rapat Tahunan Group Perusahaan (PT Haga Media Indrajaya) penerbit koran LE, yang dihadiri KKLE (Kerabat Kerja LE) beserta person dari group, yaitu Harian Ekspres dan Harian OKU Raya Ekspres.

Dua hari sebelumnya, tepatnya Kamis, 24 Desember 2015, Abuya HMI mengumpulkan para Kabag dan Redaktur untuk rapat intern persiapan rapat tahunan. Di hari itu beliau sudah mengutarakan bahwa di tahun 2016 tidak akan ikut lagi mengurus manajemen perusahaan, Alasannya, akan rehat dan menyerahkan sepenuhnya kelanjutan usaha kepada para KKLE.

Pada rapat akhir tahun perusahaan, hari Sabtu, 26 Desember 2015, Abuya HMI kembali menegaskan akan mundur dari kegiatan memimpin perusahaan. Secara berseloroh beliau berkata, dirinya mungkin akan mondok di Pesantren di Jawa sana. Semua karyawan yang hadir di rapat tersebut sepenuhnya hanya menyimak uraian panjang lebar darinya. Tak ada yang bisa menerjemahkan dalam pengertian lain apa yang diucapkannya sebagai pertanda untuk istirahat selamanya dari kehidupan.

Baru setelah sekira menjelang pukul 23 WIB rantaian informasi sambung menyambung menyebar lewat pesan SMS dan BBM, mengabarkan kalau Abuya HMI telah mengembuskan napas terakhirnya tadi pada pukul 22.46 WIB di RS Urip Sumoharjo. Barulah terlintas di pikiran, terutama saya, bahwa apa yang dikatakan Abuya di ruang rapat, terselip bahasa isyarat bahwa dirinya di tahun 2016 tidak akan ikut lagi mengurusi perusahaan, karena akan isirahat selamanya dari kehidupan duniawi.

Hari itu, semua urusan telah diselesaikannya. Bahkan sejak jauh hari, sudah ditampakkan pesan-pesan atau isyarat kematian itu. Di antaranya, Abuya minta kepada staf administrasi untuk membingkai semua foto dirinya, merapikan file-file dan dokumen. Tentu saja para staf dengan senang hati menuruti apa keinginan beliau tanpa pernah menduga-duga apa yang akan terjadi sesudahnya.

Seperti yang sudah saya posting dengan judul Si Astral itu Bikin Baper bahwa malam Senin, 27 September 2015, sekira pukul 23.32 tiba-tiba saya mencium bau Kapur Barus yang begitu menyengat. Saya yang tinggal sendirian di ruang redaksi tentu saja merinding dan penuh tanda tanya, pertanda apa itu, isyarat apakah gerangan itu.

Setelah saya hitung waktunya antara kejadian ada aroma Kapur Barus tersebut dengan tanggal meninggalnya Abuya HMI, persis 3 bulan. Tetapi, apakah itu sebagai bahasa yang bisa diterjemahkan sebagai isyarat kematian? Wallahu alam. Hanya Allah Swt pemilik keindahan bahasa Al-Quran dan di dalam Kitab Suci tersebut telah jelas bahwa kematian itu adalah kepastian yang niscaya akan datang. Namun, tidak bisa disegerakan dan tidak juga bisa ditunda kedatangannya.

Jadi, mungkin saja aroma Kapur Barus di tengah malam itu sebagai isyarat kematian, bila dihubungkan bahwa tak begitu lama sesudahnya (3 bulan) Abuya HMI dipanggil menghadap Ilahi Rabbi. Tetapi, baru bisa diterjemahkan atau dihubungkan setelah ada kejadian. Begitulah, sesungguhnya ilmu pengetahuan manusia begitu terbatas, tidak bisa menjangkau apalagi melampaui apa pun yang belum terjadi.



      

Jumat, 15 Januari 2016

Isyarat Kematian 1

Ketika menjelang ajalnya, Ibu saya yang meninggal di hari Sabtu, 13 Desember 1978, memberi isyarat dengan menyuruh agar kami membersihkan sawang (sarang laba-laba) di langit-langit (plafon) rumah. ”Bersihkan itu sansang (istilah bahasa Ranau untuk sawang), nanti akan banyak orang,” pesan beliau. Kami menjawab iya. Dan tak lama dari itu beliau pun menghadapi beratnya sakaratul maut. Kami bacakan Surah Yaa Siin di sisi tempat tidurnya. Begitu bacaan Surah Yaa Siin selesai, beliau pun pergi menghadap ke Haribaan Ilahi Rabbi.

Itulah isyarat kematian yang pertama saya alami.

Isyarat kematian berikutnya, saat kakak dari istri saya akan meninggal. Mas Bakir biasa kami memanggil singkat namanya, Muhammad Subakir. Saat itu pas hari Idulfitri, sedianya habis silaturahmi ke tempat mbak Kifti di Sidoharjo, kami akan meluncur ke arah Lorok. Tetapi, entah bagaimana sehingga diurungkan dan mengarahkan laju kendaraan pulang ke rumah di Ngawen, Semanten. Tetapi, mampir dulu di tempat Yu Katmi karena anak mantu dan cucunya dari Surabaya pada datang. Belum lama duduk, anak saya Abi yang masih berusia 3 tahun ngotot mengajak pulang. Sambil menarik-narik tangan Pakdenya. Ia betkata; ”Pakde ayu pulang, pakde ayu pulang.” Kami pun langsung pamit dan tak sempat mencicipi kue lebaran yang disuguhkan. Ternyata sesampai di rumah yang jaraknya dari situ hanya 300 meter, kami mendapati Mas Bakir sudah dalam detik-detik melepas napasnya yang terakhir. Di sampingnya Ibu sedang membacakan Surah Yaa Siin. Kami pun segera ambil air wudlu dan ikut membacakan Surah Yaa Siin. Begitu bacaan Surah Yaa Siin selesai, Mas Bakir pun berangkat pulang ke Rahmatullah.

Itulah isyarat kematian yang dipertunjukkan Allah lewat kehendak anakku Abi untuk segera pulang.

Ayah kami, H. Yakub bin Abdurahman, sedang dalam kondisi sakit stroke menginjak 7 bulan lamanya. Sebelumnya beberapa kali saya dan Abang pulang menengoknya. Kali itu kebetulan bertepatan dengan pernikahan nakanda Lediartina. Saya dan Abang Ari pulang pada hari Jumat, 11 Juni 2010. Minggu, 13 Juni 2010, acara pesta manten. Faktor tugas yang tak bisa ditinggal lama, maka Senin pagi 14 Juni seusai memandikan beliau lalu saya sarapan karena akan kembali ke Bandar Lampung, saat saya berpamitan beliau tak menjawab. Tetapi, tatapan beliau begitu tajam menikam. Dalam hati saya bergelayut tanya, kok tatapan ayah seperti ini. Begitu lekat seakan tak mau dilepaskannya.

Pikir saya, jangan-jangan ayah ini memberi isyarat agar jangan ditinggalkan dan minta ditunggui. Tetapi, ketetapan hati tak bisa dilawan, saya harus kembali untuk bekerja. Sementara Abang Ari memang sengaja tinggal karena akan membawa beliau berobat ke ahli pengobatan alternafif yaitu Pak Tukiyo di Way Kanan, Lampung Timur. Ayah dibawa hari Selasa 15 Juni. Seusai mengobati dengan cara diurut sebelah anggota tubuhnya yang tidak lumpuh, Pak Tukiyo berpesan kepada abang dan kerabat lainnya yang mengantar agar ayah dibawa kembali ke Way Kanan pada Jumat 25 Juni. ”Antarkan lagi nanti Jumat 25 Juni, jangan lebih dari sepuluh hari,” pesan Pak Tukiyo.

Bisa jadi lantaran ilmunya yang mumpuni, Pak Tukiyo sudah bisa ”membaca” bahwa ayah sudah dekat dengan ajalnya. Nyatanya benar saja, pas sepuluh hari dari tanggal itu, pas pula hari dan tanggal yang dikatakannya yaitu Jumat 25 Juni 2010, ayah berpulang ke Rahmatullah tepat pukul 07.50 WIB. Dan tepat pula ayah memang diantarkan. Bukan ke Way Kanan, melainkan ke tempat peristirahatannya yang terakhir. Begitulah tanda-tanda kebesaran Allah Subhanahuwata'ala, diberikan-Nya kepada hamba-Nya untuk memberi isyarat. Namun, kita kadang tak mampu menerjemahkannya, sehingga kita baru bisa mencerna kalau itu sesunggunya isyarat setelah ada kejadian.

Ya, itulah isyarat yang dikirim ayah lewat tatap matanya yang tajam menikam.

  

Minggu, 10 Januari 2016

Si Astral itu Bikin Baper

Ibarat sepasang cowok dan cewek yang baru pertama ngedating, pasti akan ada rasa canggung di antara mereka. Pasti masing-masing akan lebih banyak berbicara menggunakan bahasa kalbu, akan berbicara dengan diri sendiri di dalam hati dan bermacam pikiran berkecamuk dalam benak. Maklum pertama berkencan, masih terkesan kaku. Sehingga lebih banyak diam dan asyik memainkan gadget masing-masing, kalau Android tentu bisa jadi berbeda merek. Atau paling tidak sama-sama BlackBerry.

Begitulah saat saya didatangi kali pertama oleh makhluk astral di tengah malam (Minggu malam Senin, 27/9/2015). Kira-kira pukul setengah 12 malam itu, tiba-tiba saya mencium aroma Kapur Barus, dekat sekali di sekitar tempat duduk, sementara pekerjaan layout koran masih satu halaman lagi. Berbicara dalam hati merapalkan Ayat Kursi, itu yang bisa saya lakukan. Habis, mau berdialog dengan si doi, gak kelihatan wujud rupanya, cewek cantik atau cowok gantengkah, jangan-jangan malah bencong dan wajahnya begitu mengerikan.

Bertahan dalam rasa kengerian hingga pekerjaan rampung. Itulah keterpaksaan yang tidak bisa saya hindarkan. Peristiwa alamiah dan ilmiah itu semula saya simpan di hati, hanya saya ceritakan kepada istri di rumah. Tetapi, ketika Minggu malam (4/10/2015) kembali lagi dia datang, masih agak sore sekitar pukul 21.00, kebetulan kerabat kerja masih ramai sehingga semua kami yang ada di situ (Zahdi Basran, Jamhari Ismanto, Herman Afrigal, kecuali Lutfi, karena lagi flu) bisa mencium.

Zahdi Basran sampai konfirmasi ke Bik Toy apakah lemari pakaian di dalam kamar menggunakan Kapur Barus? Nggak, jawab Bik Toy! Ah, mana mungkin lemari di dalam kamar yang jauh dari ruang kerja bisa tercium sementara itu bau Kapur Barus menyengat tajam sekali, kilah saya. Dan saya pun buka suara menceritakan kejadian pertama yang saya alami minggu lalu. Keesokannya Zahdi tanya lagi sama Lely apakah lemari pakaian ada Kapur Barus. Lalu cerita kalau ada bau kapur barus kemarin. Ah jangan buat gw sawan,” kata si Lely.

Senin (6/10) Wan H Nastul Wathon, paman di Kampung Baru wafat. Tetapi, rasanya aroma Kapur Barus Minggu malam kemarin bukanlah pertanda atau firasat akan berpulangnya almarhum, melainkan memang suasana kantor sehabis mati lampu beberapa jam sebelumnya membuat makhluk astral muncul gentayangan ingin menguji nyaliku. Ahai… sungguh aroma ”tubuhmu” bikin ’baper’ dan misteri dirimu tak terpecahkan oleh sunyi ruang kerja dan degub kencang di rongga dada.

Senin dini hari (24/11/2015) nongol lagi itu si bangkek. Kekira pukul 00.23. Ah dasar bangkek bener dia. Aromanya menyengat kuat sekali seakan begitu dekat. Tak ayal saya yang rada pemberani dibuat setengah takut juga. Karena kerja belum kelar mau tak mau bertahan, abis mau gimenong, masak mau lari ninggalin kerja yang masih setengah. Yo wis jalan terus sesambil baca Ayat Kursi dan rapalan a’uzubillahiminasy-syaithonirrojim dan nyebut (memanggil-manggil) Asma Allah.

Gak tahan, tangan buat status di fb; ”bangkek, datang lagi kuntilanak itu, gw karungin juga entar....”

Tidak jelas benar seperti apa sosoknya. Karena kita berada di alam yang berbeda, kita di alam dunia nyata mereka di alam gaib. Tetapi, menurut Herman (Redaktur Olahraga), kalau bau Kapur Barus itu berarti sosoknya Pocong, kalau baunya seperti Bawang Putih itu berarti Kuntilanak. Benar tidaknya pendapat Herman, wallahu’alam bish-shawab. Karena Herman tidak mendasarkan argumennya pada landasan yang kuat, misalnya mengutip pendapat ilmiah orang-orang yang paham betul tentang dunia gaib.

Saya katakan peristiwa yang saya alami alamiah karena proses kehadirannya tiba-tiba tanpa bahasa dan gejala, hanya ada aroma. Sementara dikatakan ilmiah karena mereka memang bagian dari makhluk halus sebangsa Jin atau Syetan. Dalam Al-Quran memang disebutkan bahwa makhluk Allah terdiri atas golongan Manusia, Jin, dan Syetan. Jin ada yang Islam dan ada yang Kafir, sedangkan Syetan pembangkang perintah Allah (tidak mau taat) dan penggoda keimanan anak-cucu Adam hingga kiamat.

Sebenarnya sudah ada obrolan teman-teman tentang adanya makhluk astral di kantor itu, beberapa orang bahkan sudah pernah ditampakkan sosoknya. Budi Gondrong, misalnya. Konon, katanya, pernah melihat sosok perempuan berdiri di dekat pintu ruang jetpump bawah tangga ke lantai dua. Kemudian Rifki Marfuzi pernah dicolek tengkuknya ketika masuk ruang gelap gulita yang dulu dijadikan studio musik, kemudian jadi gudang dan tak terurus.

Bahkan, Prinisa Mariam Ananta, pernah secara refleks menunjukkan kengerian sebagai reaksi atas interaksi yang terjadi antara dirinya dengan si makhluk astral di rumah itu. Sehingga putri sulung Fajar Thomas Agatha (keponakan), itu serasa tak nyaman setiap kali dibawa silaturahmi ke situ. Namanya anak kecil yang masih bersih hati dan rohaninya, biasanya bisa melihat dengan ’mata gaib’ atau ’indera keenam’ ada sosok-sosok mengerikan atau tidak di suatu ruang.
    
Peristiwa Kedua

Sebenarnya peristiwa yang saya alami di rumah yang dijadikan kantor atau kantor yang dijadikan rumah, di jalan Oerip Sumohardjo itu adalah peristiwa kedua. Yang pertama saya alami terjadi pada tahun 2001 di kantor Jalan Pangeran Diponegoro, Telukbetung. Waktu itu memang saya selalu menginap menunggu pagi baru pulang ke rumah karena letaknya jauh dari kantor. Dari malam ke malam, hari ke hari, tak ada apa-apa sampai suatu malam dia datang menggoda.

Seusai salat Isya dan hendak merebahkan tubuh untuk berangkat tidur, tiba-tiba di ruang sebelah yang tersekat kaca terdengar seperti ada yang menyeret/memindahkan kursi. Saya kembali bangkit dan melongok ke sebelah, jelas saja tak terlihat apa-apa, sayapun kembali merebahkan tubuh. Lalu terdengar suara derit pintu besi yang ke arah ruang terbuka balkon belakang. Wah, ini nggak main-main, pikir saya. Serius ini, saya pun tak mau berpikir lama-lama, langsung turun terbirit-birit dari lantai tiga itu.

”Kenapa, Bang,” tanya si Icin, penjaga malam di lantai dasar. ”Ada seperti suara bla-bla-bla… saya bercerita.” Mendengar itu dia langsung ngakak. Jiancuk, tengik juga si anak buah. Ketika saya cerita, mereka pun buka suara bahwa memang sejak lama mereka sudah merasakan nuansa mistik di gedung kantor tiga lantai itu. Tetapi, mereka tak mau cerita karena takut membuat saya tak berani lagi menginap. Mereka tunggu sampai saya mengalaminya sendiri. Oh, tau diri banget.

Sejak kejadian itu, tak ada lagi acara menginap di kantor sampai pagi baru pulang ke rumah. Usai kerja langsung pulang, kadang diantar teman-teman (Nico, Fadhil, Iyan) ke rumah pakai Kijang kantor, kadang naik angkot hingga depan Arthomoro (Tanjungkarang Plaza, sekarang Central Plaza) lalu nyambung angkot ke Terminal Rajabasa dan naik ojek sampai rumah. Sampai-sampai tukang ojek terminal hapal di luar kepala saking setiap malamnya. ”Tuh, BKP,” celoteh mereka ngasih kode ke siapa yang seharusnya giliran narik. Sungguh, antrean yang rapi jali. Berdasar azas pemerataan.